Mohon tunggu...
Agus Trisa
Agus Trisa Mohon Tunggu... -

Seorang ayah dengan dua orang anak dan seorang istri.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fokus, Jangan Mudah Dipecah Belah

14 April 2015   13:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:07 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak puluhan bahkan ratusan tahun, politik pecah belah telah digunakan manusia dari berbagai bangsa sebagai jalan menghancurkan kekuatan lawan-lawannya. Pecah belah ini bisa diterapkan untuk konteks politik maupun dalam strategi militer (perang). Politik pecah belah ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai strategi ampuh untuk bisa melemahkan, menghancurkan, kemudian menguasai pihak lawan. Karena politik pecah belah ini begitu ampuh dan efektif, maka tidak heran jika Barat menjadikan politik ini sebagai gaya baku dalam upaya melakukan penguasaan atas pihak yang ingin dikuasai.

Bentuk politik pecah belah yang sangat terlihat adalah adanya politik adu domba. Ssatu pihak atau beberapa pihak akan dibenturkan dengan pihak lain. Benturan tersebut tentu akan menyisakan perpecahan dan kehancuran di masing-masing pihak. Jika masing-masing pihak sudah hancur, maka jadilah kekuatan mereka menjadi kekuatan kecil dan lemah. Jika sudah kecil dan lemah, maka masing-masing pihak itu akan bisa dengan mudah dikuasai.

Politik pecah belah ini diterapkan dengan menghembuskan sentimen-sentimen horizontal di tengah-tengah masyarakat. Bisa berupa sentimen sektarian, bisa berupa sentimen feodalistik, atau sentimen-sentimen lain yang mampu menimbulkan benturan-benturan (clash) di tengah masyarakat.

Bangsa Indonesia adalah korban penerapan politik pecah belah yang diterapkan para penjajah. Mereka mengadu domba satu pihak dari kalangan rakyat, dengan pihak lain yang juga dari kalangan rakyat. Dibenturkan hingga akhirnya hancur dan menjadi kekuatan-kekuatan kecil tak berdaya. Sebagian kasus politik pecah belah orang Barat terhadap bangsa Indonesia (pada masa dulu) adalah dalam konteks kekuasaan di lingkungan penguasa. Misalnya, Portugis melakukan adu domba terhadap keluarga Kesultanan Ternate. Atau, ketika VOC (Belanda) memecah belah Kesultanan Mataram Islam, dari yang semula 1 kekuasaan menjadi 4 kekuasaan. Pada awalnya, melalui Perjanjian Giyanti, hanya dipecah menjadi Mataram Barat (Kesultanan Yogyakarta) dan Mataram Timur (Kasunanan Surakarta). Pada akhirnya, oleh Belanda, Kasunanan Surakarta dipecah menjadi dua kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta sendiri dan Kadipaten Mangkunegaran, melalui Perjanjian Salatiga 1757. Sementara itu, di Mataram Barat dipecah menjadi Kesultanan Yogyakarta sendiri dan Kadipaten Pakualaman melalui pemerintah Inggris, pimpinan Thomas S. Raffles. Begitulah, para penjajah menerapkan politik pecah belah. Kesemuanya berawal dari satu siasat, yaitu adu domba.

Karena itu, kita mengenal istilah devide et impera. Kata devide et impera ini sebenarnya adalah sebuah kata kerja, yang berarti, “Pecah, dan kuasai!” Maksudnya adalah, setelah penduduk pribumi Indonesia bisa dipecah belah dengan cara diadu domba, maka pihak Belanda akan mudah menguasai penduduk pribumi itu dikarenakan sudah tidak memiliki kekuatan yang tangguh. Sebab, kekuatannya sudah dipecah belah.

Kata semakna juga ada di dalam tradisi orang-orang Inggris yang biasa mengatakan devine and rule, atau bisa diartikan, “Pecah, dan perintahlah!” Sementara orang Arab menyebutnya dengan istilah, “Farriq, tassud!!” yang berarti, “Pecah, lalu perintahlah!!” Maksudnya, setelah terpecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil, maka harus segera di kuasai, karena telah lemah. Dengan begitu, kontrol penuh tetap berada di tangan penjajah.

Politik pecah belah, juga diterapkan kaum kafir dalam menghancurkan Kekhalifahan Usmani di Turki. Negara khilafah dengan kekuasaan yang besar dan luas, dipecah belah menjadi negara-negara kecil dengan sentimen nasionalisme atau paham kebangsaan. Kaum kafir menghembuskan isu independensi kekuasaan, agar wilayah-wilayah di kekhalifahan Usmani melepaskan diri, untuk menjadi negara yang merdeka, lepas dari pengaruh pihak mana pun, termasuk kekuasaan Bani Usmaniyah yang ada di Turki. Maka, setelah kekhalifahan Usmaniyah runtuh, berdirilah kekuasaan-kekuasaan kecil, seperti Kerajaan Yordania, Mesir, Arab Saudi, Republik Turki, dan sebagainya. Semua ini disebabkan karena politik adu domba (politik pecah belah) untuk melemahkan umat Islam.

Politik adu domba ini juga bisa muncul dengan motif lain, yaitu sektarian atau mazhabiyah. Memanfaatkan adanya ‘perbedaan’ dalam pemahaman-pemahaman Islam, kaum kafir penjajah berusaha menjadikan ‘perbedaan’ itu sebagai bahan bakar api perpecahan di tengah-tengah umat. Misalnya, isu dihembuskannya konflik Sunni-Syiah. Ketika kita membahas ini, kita tidak sedang membahas soal pemahaman Syiah, apakah kafir atau muslim. Pembahasan seperti itu tentu ada porsi dan tempatnya tersendiri.

Isu-isu seperti ini dan sejenisnya dikembangkan oleh Barat, terus dipelihara, agar kaum muslim berseteru dan tidak bersatu, serta tetap dalam kondisi pecah belah, hingga akhirnya terus melemah. Isu sejenis, misalnya tentang Islam Radikal dan Islam Moderat. Contoh yang lain, misalnya membenturkan antara orang yang terbiasa melakukan tahlilan dengan yang mengharamkan tahlilan. Atau, membenturkan antara orang yang celananya isbal dengan yang tidak. Ya, isu sektarian ini memang sengaja dipelihara Barat untuk tetap melemahkan umat Islam. Umat dibuat agar fokus pada hal-hal seperti itu, sementara umat lupa ketika sumber daya alam mereka dirampok. Umat dibuat lupa pada agenda liberalisasi yang akan menguasai mereka dari sisi politik. Umat dibuat bodoh, lemah, tak berdaya, tanpa kuasa. Ketika isu Sunni-Syiah semakin berhembus, lalu kekayaan alam dirampok, umat bisa berbuat apa? Tidak bisa berbuat apa-apa. Kenapa? Karena mereka telah lemah. Jangankan mengingkari atas perampokan sumber daya alam, umat bahkan tidak tahu bahwa sumber daya alam mereka sedang dikuasai orang kafir!

Jika demikian, lantas apakah Syiah itu tidak dianggap sebagai persoalan? Syiah tetaplah persoalan. Tetapi bukanlah akar persoalan, atau persoalan mendasar umat. Persoalan mendasar adalah persoalan yang menjadi sumber bagi munculnya persoalan-persoalan lain (cabang). Sementara persoalan cabang adalah persoalan yang muncul sebagai akibat dari munculnya persoalan mendasar. Sebuah persoalan, apakah disebut sebagai persoalan mendasar ataukah persoalan cabang, dilihat dari realitas persoalan itu sendiri. Jika sebuah persoalan selesai, lalu persoalan yang lain akan mudah diselesaikan karena persoalan tersebut sudah selesai, maka persoalan itu pastilah persoalan mendasar. Tetapi jika ada sebuah persoalan selesai, tetapi dengan terselesaikannya persoalan itu maka persoalan lain tidak kunjung mendapatkan solusi, itu artinya persoalan tersebut bukanlah persoalan mendasar. Dari sini, kita akan bisa mengukur, jika persoalan Syiah itu selesai, lantas apakah persoalan lain akan menjadi mudah diselesaikan? Sama seperti hal sejenisnya, jika persoalan tahlilan atau isbal itu sudah selesai, lantas apakah persoalan-persoalan yang lain juga akan mudah (mendapatkan jalan untuk) diselesaikan?

Berdasarkan hal tersebut, umat Islam harus senantiasa menjaga diri mereka dari jebakan-jebakan kaum kafir penjajah. Jebakan-jebakan yang mudah dihembuskan untuk pemecahbelahan Islam dan melemahkan umat Islam adalah dengan mengarahkan pada isu sektarian. Jika kaum muslimin selalu menghembuskan isu sektarian, itu artinya dia telah terjebak dalam jebakan-jebakan orang-orang kafir. Lebih parah lagi, jika isu sektarian ini dijadikan titik fokus dalam membahas persoalan umat, ini berbahaya. Sebab, umat bisa lupa pada musuh mereka sebenarnya, yaitu orang-orang kafir yang senantiasa ingin membuat Islam dan kaum muslim lemah, mudah dikontrol, bahkan ketika sumber daya alamnya dikuasai malah diam saja. Inilah yang sebenarnya diinginkan oleh kaum kafir.

Jadi, janganlah kita terjebak dalam jebakan orang kafir. Mereka mau memecah belah umat Islam dengan berbagai cara. Sudah terlalu banyak pelajaran dari berbagai peristiwa yang menunjukkan hal tersebut. Hendaknya kita selalu belajar dari semua peristiwa-peristiwa itu.

Maka, sudah saatnya umat Islam sadar pada persoalan yang lebih besar, lebih fokus pada musuh yang sesungguhnya. Apa persoalan besar itu? Yaitu, bagaimana agar kehidupan Islam bisa kita wujudkan dengan sebaik-baiknya. Satu-satunya metode untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah melalui kekuasaan atau institusi politik. Jadi, Islam harus tegak di atas institusi politik. Dengan institusi politik itu, segala persoalan akan mudah (mendapatkan jalan untuk) diselesaikan. Mengapa? Sebab, Islam memiliki kekuasaan.

Namun, saat ini kekuasaan belum di tangan Islam. Kekuasaan yang ada saat ini masih berada di tangan orang-orang yang lemah, bahkan mereka sebenarnya tidak memiliki kuasa. Mereka (para penguasa negeri ini) sebenarnya berada dalam kuasa (kontrol) orang lain. Siapa? Mereka adalah musuh umat Islam yang sesungguhnya. Yaitu para penguasa kafir penganut ideologi sesat neoliberalisme dan neoimperialisme. Inilah yang seharusnya dijadikan ancaman bersama. Kedua paham inilah yang telah menyebabkan habisnya sumber daya alam. Kedua paham inilah yang menyebabkan kerusakan moral di tengah-tengah masyarakat. Kedua paham inilah yang menjadi sumber dari segala kejahatan. Kedua paham inilah yang menyebabkan manusia berpikir liberal (bebas), sehingga mereka bisa dengan bebasnya merusak agama, merusak pikiran, merusak akhlak, dan merusak tatanan masyarakat.

Jadi, marilah kita berpikir rasional, bukan emosional. Berpikir ideologis, bukan pragmatis. Indonesia harus diatur dengan aturan Allah, karena Indonesia milik Allah.

Wallahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun