Di antara problematika hidup, terutama bagi seorang laki-laki yang telah menikah adalah bagaimana membagi perhatian kepada dua wanita spesial dalam hidupnya, yaitu istri dan ibunya. Sebagai jawaban atas problematika ini, mari merenungkan kisah yang sangat populer, berasal dari zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam masih hidup. Kisah tentang Al-Qamah yang kesulitan mengucapkan kalimat thayyibah "Laa ilaaha illallah" karena kemurkaan ibunya terhadapnya, padahal Al-Qamah adalah ahli ibadah. Kisah ini penulis kutip dari kitab Thanbihul Ghafilin karya Al Faqih Abu Laits As-Samarqandi.
Diceritakan oleh Anas tentang Al-Qamah seorang pemuda yang taat beribadah dan bersedekah. Suatu hari ia menderita sakit yang cukup keras, sehingga istrinya pun mengutus orang untuk memanggil Rasulullah saw. Kemudian beliau mengutus Bilal, Ali, Salman dan Ammar untuk datang ke rumah Al-Qamah dan melihat keadaannya dari dekat. Ketika itu Al-Qamah sedang sakaratul maut, maka ditalkin oleh mereka untuk mengucapkan kalimat thayyibah (Laa ilaaha illallah), akan tetapi lidah Al-Qamah kelu dan berat untuk mengucapkan kalimat tersebut.
Lalu mereka minta Bilal untuk memberitahukan perihal Al-Qamah kepada Rasulullah. Lantas beliau bertanya, "Apakah dia masih memiliki kedua orangtua?" Dijawab, "Ia hanya memiliki seorang ibu yang telah renta." Rasul berkata, "Wahai Bilal, pergilah ke rumah ibu Al-Qamah, sampaikanlah salamku untuknya, dan beritahukanlah bahwa jika ia mampu untuk berjalan maka datanglah ia menemuiku, akan tetapi jika ia tidak mampu, maka tunggulah sampai aku datang di rumahnya."
Setibanya Bilal di rumah ibu Al-Qamah maka diberitahukanlah maksud kedatangannya dengan memberitahukan pesan dari Rasulullah. Dan berkata ibu Al-Qamah, "Akulah yang akan menemui beliau, karena diriku adalah tebusan bagi beliau."
Maka pergilah ibu Al-Qamah menemui Rasulullah, dan sesampainya di hadapan beliau, beliau bertanya, "Berkatalah jujur kepadaku karena jika kamu berbohong, maka Allah akan menurunkan wahyu kepadaku. Bagaimanakah putramu Al-Qamah?" Ibunya menjawab, "Wahai Rasulullah, dia adalah orang yang tekun dalam beribadah baik itu salat, puasa ataupun bersedekah." Beliau bertanya, "Bagaimanakah hubunganmu dengannya?" Ibunya menjawab, "Wahai Rasul, ia telah membuatku marah kepadanya." Beliau bertanya, "Apakah yang membuatmu marah kepadanya?" Ibunya menjawab, "Karena ia lebih mementingkan istrinya dalam segala hal daripada kepadaku." Kemudian Rasul bersabda, "Karena kemurkaan ibunyalah yang menjadikan lidah Al-Qamah terkunci untuk mengucapkan kalimat thayyibah." Lantas beliau meminta kepada Bilal agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakarnya.
Mendengar perintah Rasul tersebut ibu Al-Qamah berkata, "Wahai Rasulullah, engkau akan membakar buah hatiku di hadapanku, lantas bagaimana aku bisa merelakannya?" Beliau berkata, "Wahai ibu Al-Qamah, sungguh siksa Allah itu teramat pedih lagi kekal, jika kamu menghendaki ampunan Allah bagi putramu, maka maafkanlah dia. Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, selama kamu masih murka terhadap putramu, maka ibadah salat, puasa ataupun sedekahnya sama sekali tidak memberi manfaat untuknya." Kemudian ibu Al-Qamah menengadahkan tangannya ke atas seraya berkata, "Wahai Rasul Allah yang di langit, engkau dan para sahabat yang di sini menjadi saksi bahwa aku telah memaafkan semua kesalahan putraku Al-Qamah." Setelah itu Rasulullah memerintahkan Bilal untuk pergi ke rumah Al-Qamah dan memastikan apakah kini ia telah dapat mengucapkan kalimat thayyibah. Maka pergilah Bilal dan setibanya di depan pintu rumah Al-Qamah ia mendengar bahwa dari lisan Al-Qamah telah terucap kalimat thayyibah "Laa ilaaha illallah." Kemudian masuklah Bilal seraya berkata, "Wahai orang-orang mukmin, ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mengunci lisan Al-Qamah untuk mengucapkan kalimat thayyibah."
Setelah itu datanglah Rasulullah saw ke rumah Al-Qamah dan memerintahkan untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu beliau mensalatinya dan menguburkannya. Beliau lalu bersabda, "Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, ketahuilah bahwasanya siapa di antara kalian yang lebih mengutamakan istrinya daripada ibunya, maka baginya adalah kemurkaan Allah dan semua ibadahnya baik itu yang fardhu ataupun yang sunnah tidak akan diterima."
Semoga kita mendapat motivasi dan pencerahan bahwa sejatinya bagi seorang mukmin laki-laki, ibundanya tetap lebih utama daripada istrinya dan sejatinya seorang istri salehah adalah istri yang tetap mendukung suaminya untuk mencintai ibunya.
selanjutnya, seharusnya bukan hanya tanggal 22 Desember yang merupakan Hari Ibu, tetapi yang benar adalah bahwa setiap hari adalah Hari Ibu. Cinta sejati seorang ibu pantasnya dikenang setiap saat bukan hanya sehari dalam setahun. Jiwa kita harus senantiasa bergetar mengenang manusia mulia dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H