Awal saya tertarik menulis topik ini adalah saat sedang ramai di media sosial respon atas candaan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Yahya Cholil Staquf. Ulama yang akrab disapa Gus Yahya itu pernah melontarkan candaan bahwa Muhaimin tidak akan terpilih. Awalnya, Gus Yahya menyinggung bahwa Muhaimin baru pertama kali hadir dalam acara haul Kyai Haji Muhammad Al-Munawir di Sewon, Bantul, Yogyakarta pada Sabtu, 23 Desember 2023. Gus Yahya kemudian melepas candaan agar Muhaimin tetap datang nanti, walaupun mungkin tidak terpilih.
Gus Yahya sendiri memang sempat mengalami keretakan hubungan dengan Muhaimin karena ia tidak mau terlibat dalam sikap politik PKB. Ia bahkan meminta PKB tidak membawa nama NU dalam setiap manuver politiknya. Ia berpendapat bahwa tidak ada satu partai politik pun yang boleh mengatasnamakan NU termasuk PKB. Sejak awal penetapan Muhaimin sebagai Cawapres Anies Baswedan, Gus Yahya telah menolak jika NU digiring ke dalam arus politik PKB. Hal ini ditegaskan oleh Gus Yahya menanggapi pernyataan Sekjend PKB, Hasanuddin Wahid bahwa mereka menerima pinangan Nasdem untuk mendampingi Anies Baswedan setelah mendapat restu dari Kyai NU. Bahkan menurut Hasanuddin, Kyai NU mendukung penuh dan memberikan dorongan yang terbaik untuk PKB. Ia juga menyebut bahwa para Kyai telah meminta Muhaimin untuk menjadi pasangan Anies Baswedan.
Relawan dan Simpatisan Akan Bekerja Keras
Meskipun terkesan candaan, tetapi Tim Sukses (Timses) Anies-Muhaimin (AMIN) merasa perlu untuk merespon. Diwakili oleh Ketua Timses, Muhammad Syauqi Alaydrus, mereka mengaku tidak pusing. Biarkanlah Gus Yahya yang berpikiran begitu, toh masyarakat yang akan memilih. Ia juga menyatakan bahwa candaan ini harus ditanggapi positif oleh relawan AMIN dan simpatisannya untuk bekerja keras. Muhaimin atau Cak Imin sendiri menanggapi bahwa candaan seperti itu hal yang biasa di kalangan kyai-kyai NU.
Capres Anies Baswedan juga merespon santai dan mengaku tidak mau berpolemik menanggapi candaan Gus Yahya. Ia menyatakan bahwa siapapun berhak untuk berkomentar dan memberikan prediksi termasuk para pengamat. Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan perjalanannya keliling ke berbagai daerah, ia semakin yakin bahwa semakin banyak pandangan yang mendukung perubahan yang ia gelorakan.
Hemat penulis, apa yang dikatakan oleh Syauqi Alaydrus bahwa candaan itu harus direspon positif oleh relawan dan simpatisan AMIN untuk bekerja keras adalah suatu keniscayaan. Hal ini disebabkan karena di kalangan NU ada kultur kepatuhan terhadap ulama yang sangat tinggi. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam sejarah wakil presiden di Indonesia ada beberapa ulama NU yang pernah terpilih, seperti K.H. Hasyim Muzadi, K.H. Hamzah Haz hingga K.H. Ma'ruf Amin. Tidak dapat disangkal juga bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 juga sangat ditentukan oleh kultur NU ini. Satu lagi jejak sejarah emas NU harus diingat adalah saat ia berbentuk partai politik dan memenangkan Pemilu 1955 sebagai pemenang kedua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI).
Besarnya pengaruh dukungan NU juga sudah disinggung oleh Ketua Persatuan Alumni (PA) 212, Novel Bakmukmin. Ia menyebut jika Anies-Muhaimin tidak didukung NU, maka mereka berharap dukungan siapa? Ia bahkan mengkhawatirkan jika Muhaimin atau Cak Imin hanya membawa gerbong kosong. Ia lalu menyinggung bagaimana Kyai Ma'ruf Amin didukung penuh oleh NU sehingga dapat memenangkan Pilpres 2019. Meski demikian, Ketua PA 212 ini belum menutup kemungkinan mereka akan mendukung Anies-Muhaimin bergantung dari fakta integritas dan perkembangan politik ke depannya.
Beban Sejarah Jadi Batu Sandungan
Beban sejarah yang dimaksudkan tidak lain adalah Muhaimin dianggap terlibat dalam perpecahan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh ulama dan mantan Ketua PBNU, K. H. Abdurrahman Wahid yang tidak lain pamannya dan Muhaimin sendiri menyebutnya sebagai guru. Itulah sebabnya Yenni Wahid menyatakan tentang Muhaimin bahwa gurunya saja dikudeta, apalagi rakyat. Hal ini disampaikan oleh putri Gus Dur dalam acara ROSI Kompas TV (02/09/2023).
Yenni Wahid juga menjelaskan bahwa PKB yang sekarang bukan lagi PKB Gus Dur, tetapi PKB Cak Imin. Menurut putri Gus Dur ini, perbedaan itu misalnya pada corak politiknya, karakter politiknya, hingga pada apa yang diperjuangkan. Itulah sebabnya menurutnya, sudah ada pernyataan di depan notaris bahwa PKB Muhaimin tidak boleh membawa atribut Gus Dur dalam kampanye mereka.
Muhaimin Menjawab Beban SejarahÂ
Muhaimin sempat menyinggung perbedaan pandangan politik di keluarganya saat hadir bersama Anies-Baswedan di acara ROSI KompasTV (08/09/2023) berselang sepekan setelah kehadiran Yenni Wahid di acara yang sama. Ia menolak jika dirinya dianggap berkasus terkait ia yang menyebabkan perpecahan dalam tubuh PKB.Â
Ia lalu menjelaskan bahwa dalam keluarganya perbedaan pandangan politik adalah hal yang lumrah terjadi. Ia bahkan bercerita tentang kedua kakeknya yang berbeda pandangan tentang sah tidaknya jika NU bergabung dengan Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) di era Orde Lama. Saat itu buyut dari neneknya, K.H. Bisri Syamsuri berantem dengan K.H. Wahab Hasbullah, buyut dari kakeknya. Perbedaan pandangan di antara mereka karena DPR-GR dibentuk bukan berdasarkan hasil Pemilu. Perbedaan pandangan politik terjadi lagi antara pamannya, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan K.H. Yusuf Hasyim (paman Gus Dur) dan saat itu, Muhaimin mendukung pamannya, Gus Dur.
Saat disentil oleh Rosi bahwa Muhaimin kemudian melawan pamannya, Muhaimin menegaskan bahwa dialektika berdebat dalam keluarganya seumpama "olahraga keluarga" mereka. Disinggung mengenai permintaan Yenni Wahid agar PKB tidak membawa atribut Gus Dur dalam kampanye pasangan ini, Muhaimin menegaskan bahwa dirinya tidak akan membawa Gus Dur dalam kampanye-kampanye mereka.
Menyangkut tuduhan Ia melakukan kudeta terhadap Gus Dur seperti yang disebutkan oleh Yenni Wahid, Muhaimin membela diri dengan menjelaskan bahwa justru dirinya yang dikudeta sehingga ia sempat dipecat dari kedudukannya sebagai Ketua Umum PKB oleh Gus Dur. Yenni Wahid membalas kembali bahwa Muhaiminlah yang menyebabkan dirinya dan Gus Dur lengser dari PKB.
Sebuah Kesimpulan
Terlepas siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kisruh perpecahan PKB di masa lalu, akan lebih baik jika kedua kubu saat ini (Muhaimin Iskandar dan Yenni Wahid) memikirkan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa Indonesia. Umat Islam Indonesia tentu merindukan kejayaan kembali partai politik yang dapat mewakili aspirasi mereka. Umat Islam sudah terlalu banyak melihat perpecahan internal partai yang katanya mewakili umat Islam, hingga akhirnya mereka menjadi partai-partai yang suaranya tidak lagi signifikan dalam perolehan suara, terutama di Pemilihan Legislatif (Pileg). Akibatnya kekuatan mereka di legislatif  juga berkurang.
Khusus untuk PKB dan Muhaimin, di antara langkah politik yang dapat ditempuh untuk lepas dari beban sejarah adalah melakukan islah atau perdamaian dengan PKB Gus Dur. Peluang islah ini masih terbuka sebagaimana disampaikan oleh Yenni Wahid, bergantung konteks dan platform perdamaiannya, apakah PKB akan kembali kepada corak politik Gus Dur yang tidak transaksional atau kembali mengusung idealisme Gus Dur. Menurutnya, jika semua ini bisa dilakukan maka masih terbuka peluang komunikasi. Tetapi jika PKB masih bertahan dengan coraknya yang sekarang maka yang terjadi perpecahan itu makin melebar.
Jadi hemat penulis, meskipun NU sudah menolak dilibatkan dalam sikap politik PKB tetapi pasangan Anies-Muhaimin tidak boleh menganggap remeh suara pemilih NU, apalagi organisasi kemasyarakatan (ormas) ini merupakan ormas terbesar umat Islam Indonesia. Itulah sebabnya, Novel Bakmukmin sampai berkata jika NU tidak mendukung Anies-Muhaimin maka siapa yang diharapkan akan mendukung. Itupun sudah terbukti dengan terpilihnya beberapa ulama NU dalam Pilpres-Pilpres sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H