Banyak kalangan menilai Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 merupakan Pemilu yang dianggap paling jujur dan demokratis. Di antara bahan bakar utama kejujuran Pemilu saat itu adalah semangat banyak pihak untuk mengembalikan Pemilu yang jujur dan demokratis pasca Orde Baru. Banyak yang mensinyalir, bahwa beberapa Pemilu sebelumnya diselenggarakan secara tidak jujur dan tidak demokratis meskipun jargonnya adalah "luber" dan "jurdil". Luber akronim dari langsung, umum, bebas dan rahasia, sedangkan jurdil akronim dari jujur dan adil.
Semangat untuk mengusung Pemilu yang jujur dan demokratis terutama menggema di mimbar-mimbar kampus. Penulis yang saat itu duduk dalam lembaga kemahasiswaan sebagai fungsionaris atau aktivis yang terlibat dalam beberapa aksi 1998 merasakan semangat itu. Penulis sendiri rela melepas peluang bergabung ke salah satu partai pendatang baru saat itu. Penulis bersama beberapa fungsionaris mahasiswa memilih tergabung dalam 100 ribu relawan University Network for Free Election (UNFREL) dengan Todung Mulya Lubis sebagai koordinator utama. Selain UNFREL, masih ada Forum Rektor, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan lembaga pemantau lainnya bahkan beberapa berasal dari luar negeri yang akan disebutkan di bagian selanjutnya.
Lembaga Pemantau Pemilihan Umum (LPPU) bukanlah lembaga swadaya yang ilegal. Keberadaannya dijamin oleh konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum. Legitimasi LPPU ditemukan pada Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan, "LPPU dalam dan luar negeri dapat melakukan penyelenggaraan pemantauan Pemilu dengan mendaftarkan ke KPU."
Kolaborasi, sinergi dan kepedulian pemantau Pemilu, Â serta kesadaran pelaksana pemungutan suara akhirnya berhasil mewujudkan Pemilu jujur dan demokratis sesuai harapan. Berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri memuji Pemilu 1999 sebagai Pemilu paling jujur dan demokratis sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia setelah Pemilu pertama tahun 1955.
Sejarah Lembaga Pemantau Pemilihan Umum
Lembaga pemantau Pemilu belum dikenal pada Pemilu 1955. Kehadirannya pertama kali pada 1982 dilatari banyaknya protes karena pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara pada Pemilu 1971 dan lebih masif lagi pada 1977. Hal inilah yang menyebabkan revisi undang-undang Pemilu yang di antaranya mengakomodir perlunya lembaga pemantau Pemilu yang sekarang dikenal sebagai Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Saat Pemilu 1999 terjadi revisi lagi yang memungkinkan masyarakat sipil secara swadaya membentuk lembaga pemantau Pemilu sebagaimana disinggung sebelumnya. Bahkan bukan hanya lembaga pemantau dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Saat Pemilu 1999, tidak kurang dari 15 perwakilan negara Eropa memantau Pemilu 1999. Mereka tergabung dalam Observation Unit European Union. Masih ada beberapa lembaga pemantau dari luar negeri seperti Asia Network for Free Election (ANFREL), National Citizen Movement for Free Election (NAMFREL), dan International Republican Institute (IRI).
Bagaimana eksistensi pemantau Pemilu setelah 1999? Pada Pemilu 2004, KPU memberikan akreditasi kepada 25 lembaga pemantau Pemilu, sedangkan pada Pemilu 2009, mengalami penurunan menjadi 18 lembaga pemantau. Trend meningkatnya partisipasi pemantau dimulai pada Pemilu 2014 menjadi 19 lembaga dan mencapai puncaknya pada Pemilu 2019 yaitu 51 lembaga.
Di antara yang eksis memantau Pemilu dan telah mendaftarkan diri sebagai pemantau Pemilu 2024 adalah Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Nantinya, relawan JPPR yang dilengkapi tanda pengenal akan bertugas memantau tahapan proses Pemilu dengan cara mengumpulkan data dan temuan serta informasi pelaksanaan Pemilu. Di antara langkah yang ditempuh oleh JPPR untuk menanamkan kesadaran pemantauan menjelang Pemilu 2024 adalah dengan melakukan roadshow di berbagai daerah.