Jayakatwang adalah raja Kediri---dalam Pararaton Mpu Tantular menulisnya Daha---berkuasa setelah mengkhianati raja Singasari, Kertanegara. Dalam Pararaton bagian VII dituliskan bahwa skenario membalas pengkhianatan Jayakatwang terhadap Singasari mulai disusun saat Raden Wijaya---pangeran Singasari menantu Kertanegara---bertemu Arya Wiraraja, Adipati Sumenep. Wiraraja sendiri sebelumnya merupakan salah satu sosok yang ada di belakang keruntuhan Singasari. Dialah yang menyarankan agar Jayakatwang menyerang Singasari saat kerajaan tidak dikawal ketat oleh Raden Wijaya yang sedang dikirim ke Melayu. Pasca keruntuhan Singasari, justru Wiraraja menjadi aktor utama yang membantu Wijaya membalas pengkhianatan Jayakatwang.
Saat Wijaya dipersilahkan menetap di Kadipaten Sumenep, terjadilah koalisi dengan Wiraraja. Wijaya berkata, "Bapak Wiraraja, tidak sedikit saya berhutang budi kepada Bapak. Jika maksud Saya sampai, tanah Jawa akan Saya bagi dua, Bapak memerintah yang satu, Saya yang lainnya. Wiraraja berkata, "Terserahlan Tuanku, asal Tuanku jadi raja saja."
Suatu ketika Wiraraja menyarankan kepada Wijaya agar pura-pura menghambakan diri dan minta maaf kepada Jayakatwang. Bersikap takluk dan tinggal di Daha sementara waktu. Jika sudah mendapatkan kepercayaan Jayakatwang, hendaklah Wijaya meminta hutan Tarik untuk didiami---Pararaton menulisnya hutan Trik. Orang-orang Madura yang bermukim tidak jauh dari hutan yang akan membuka dan membersihkan hutan menjadi pemukiman. Wijaya juga disarankan tidak menolak jika ada orang-orang Tumapel (Singasari) dan orang-orang Daha (Kediri) yang ingin menetap bersama dengannya. Setelah dirasa kekuatan cukup untuk melawan Daha, barulah mereka menyerang balik.
Wiraraja memulai rencananya dengan mengirim surat kepada Jayakatwang. Mempertanyakan apakah ia bersedia menerima pernyataan takluk dari Wijaya. Dibalas oleh Jayakatwang bahwa ia bersedia menerimanya. Diiringi oleh para pengikut setianya beserta orang-orang Madura, Wijaya segera menemui Jayakatwang.
Kedatangan mereka bertepatan dengan hari raya Galungan sehingga mereka bisa langsung bergabung dalam pertunjukan. Jayakatwang meminta agar para perwira Wijaya diadu berlari cepat melawan perwira-perwira Daha. Ternyata para perwira Daha kalah cepat. Giliran Wijaya diminta melakukan pertunjukan menggunakan keris. Wijaya pun berhasil mengalahkan perwira Daha yang lari meninggalkan gelanggang. Jayakatwang meminta Wijaya untuk tidak ikut. Meski tanpa Wijaya, perwira-perwiranya juga berhasil mengalahkan para mantri dan perwira Daha. Jayakatwang bukannya marah ia justru menikmati semua pertunjukan itu. Ia tidak sadar bahwa ini pertanda buruk baginya.
Demikianlah Wijaya berhasil mengambil hati Jayakatwang. Wijaya lalu menyurati Wiraraja tentang peristiwa kekalahan para mantri dan perwira Daha dalam pertunjukan. Wiararaja kemudian berpesan kepada Wijaya agar segera meminta hutan Tarik. Jayakatwang senang dengan permintaan Wijaya. Sesuai rencana Wiraraja, hutan Tarik dibabat oleh orang-orang Madura. Saat salah seorang di antara mereka kelaparan sementara bekalnya habis, ia mencoba memakan buah maja yang rasanya pahit. Inilah asal-muasal hutan Tarik yang telah dibersihkan ini diubah namanya menjadi Majapahit yang kemudian berkembang menjadi sebuah desa.
Wiraraja menasihati Wijaya cara memohon diri pada Jayakatwang untuk menetap di Majapahit. Disebabkan kepandaian Wijaya menghambakan diri, Jayakatwang sangat senang dengan maksud Wijaya. Dalam serial Tutur Tinular (1997) ia mengaku senang karena bisa mengunjungi Wijaya karena lokasinya tidak jauh dari hutan tempat Jayakatwang berburu. Sebenarnya putra Jayakatwang, Ardharaja telah mengingatkan ayahnya kemungkinan pengkhianatan dari Wijaya. Tetapi sebagaimana Kertanegara yang tidak mengindahkan peringatan patihnya dan menantunya dahulu, Jayakatwang pun tidak mengindahkan peringatan putranya.
Seiring berjalannya waktu, Wijaya merasa sudah cukup kuat untuk melawan Daha. Hal ini disampaikan kepada Wiraraja melalui perantara sebuah utusan. Wiraraja membalasnya dengan menyarankan agar Wijaya tidak terburu-buru. Wiraraja menyarankan agar Wijaya meminta bantuan Tartar karena ia bersahabat dengan rajanya. Wiraraja akan mengirim surat ke Tartar melalui sebuah kapal dagang. Kepada raja Tartar, Wiraraja menjanjikan seorang putri tercantik dari pulau Jawa sebagai balasannya. Kisah ini berbeda dengan serial Tutur Tinular (1997) yang menceritakan bahwa kedatangan pasukan Tartar ke Jawa bertujuan menghukum Kertanegara yang dianggap telah menghina raja Tartar, Kubilai Khan. Persamaannya dengan Pararaton ada pada peran Wiraraja yang menyarankan pada Wijaya untuk bekerja sama dengan Tartar untuk mengalahkan Daha.
Menjelang serangan ke Daha, Wiraraja berpindah ke Majapahit bersama keluarganya beserta orang-orang Madura. Mereka juga membawa alat-alat perang dan persenjataan. Setibanya pasukan Tartar di Majapahit, seranganpun digelar. Pasukan Tartar menyerang dari Utara, Wijaya dan pasukan Majapahit serta orang-orang Madura menyerang dari Timur. Jayakatwang kebingungan menghadapi serangan dari dua arah ini. Perwira-perwira Daha yang dia kirim ke Timur termasuk Kebo Mundarang dikalahkan oleh perwira-perwira Majapahit. Jayakatwang juga tidak lebih beruntung. ia berlari ke Utara tetapi berhasil ditangkap oleh pasukan Tartar dan dipenjarakan.
Akhir hidup Jayakatwang diperlihatkan secara sangat epik dalam serial Tutur Tinular (1997). Setelah mengamuk dalam kurungan hingga kurungannya hancur, Jayakatwang bermaksud menyerang Wijaya yang telah mengkhianatinya. Dua perwira Wijaya yakni Sora dan Ranggalawe segera menghadang dan menghajarnya. Jayakatwang tewas dengan membawa kemarahan besar akibat dikhianati oleh Wijaya. Menantu Kertanegara---besan sekaligus iparnya---yang dahulu dia khianati. Demikianlah seorang pengkhianat merasakan sakitnya dikhianati.