"Negara yang besar adalah negara yang menghargai jasa pahlawannya," demikian pesan the foundhing father Indonesia sekaligus proklamator dan presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ir. Sukarno.
Sangat tepat jika di momen 10 Nopember ini kita kembali mengenang jasa-jasa pahlawan dalam pertempuran paling heroik mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana tidak heroik jika arek-arek Surabaya harus bertempur jarak dekat dengan tentara Inggris, sedangkan Inggris nota bene merupakan pemenang Perang Dunia II.Â
Inggris adalah negara imperialis terbesar di dunia. Inggris pernah menjajah Amerika, Australia dan India. Jangan tanyakan persenjataan mereka, yang pastinya jauh di atas level persenjataan arek-arek Surabaya, begitupun skill di medan tempur.
Tetapi atas kehendak Yang Maha Kuasa, Inggris justru dipermalukan di front Surabaya. Mereka kalah di perang pertama sehingga mereka merasa perlu mendatangkan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk membujuk arek-arek Surabaya gencatan senjata.Â
Ternyata ini hanya taktik Inggris agar mereka punya waktu tenggang untuk mendatangkan bala bantuan ke Surabaya. Meski demikian, mereka tetap kehilangan dua Jenderal terbaiknya, Jenderal A.W.S. Mallaby dan Brigadir Jenderal Guy Loder Symonds. Inggris dipermalukan kedua kalinya di front Surabaya setelah kehilangan dua jenderal terbaiknya. Padahal di front Perang Dunia I dan II, Inggris tidak pernah kehilangan jenderalnya.
Sesungguhnya di balik heroisme arek-arek Surabaya, ada kisah heroisme lainnya yang belum lazim diketahui, yakni kisah desersinya tentara Inggris dari legiun Gurkha asal India dan Pakistan. Mereka disebut-sebut tentara elit dalam British Army yang sudah banyak terlibat di pertempuran besar seperti Perang Dunia I dan II. Inggris sendiri bahkan pernah kalah perang melawan Gurkha saat ingin menguasai Nepal (1814-1816).
Tentara Gurkha memilih "mogok" dari front pertempuran Surabaya setelah mendengar suara adzan dan takbir. Saat berangkat ke Indonesia mereka memang tidak tahu menahu tentang Inonesia. Mereka tidak membayangkan bahwa di Indonesia mereka akan menjumpai banyak mesjid dan mendengar suara adzan dan takbir. Mereka juga tidak tahu bahwa di Indonesia mereka akan berhadapan dengan ulama dan santri serta rakyat sipil di front pertempuran.
Membelotnya lebih dari 600 personil Tentara Gurkha dan justru memihak ke arek-arek Surabaya adalah bentuk solidaritas tanpa batas. Tidak ada lagi batasan negara, apalagi batasan garis komando. Mereka berani menentang komando bahkan tidak peduli jika mereka harus menerima sanksi dari negara yang mengirim mereka, yakni Inggris. Banyak dari mereka juga berani bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), meskipun harus rela kehilangan gaji fantastis sebagai tentara British Army.
Tentara Gurkha hakikatnya juga merupakan pahlawan di balik Pertempuran 10 Nopember. Ini adalah hutang jasa yang harus dibayar. Itulah sebabnya di era 60-an saat India-Pakistan terlibat konflik, pemerintan Indonesia mengirim TNI. Keberanian para patriot angkatan laut Indonesia yang berhasil menghalangi armada laut India menyerang kapal perang Pakistan akan selalu mereka kenang.
Kisah persahabatan Indonesia-Pakistan berlanjut ke era 80-an saat Presiden Zia Ul Haq meminta kepada Presiden Suharto agar diizinkan berkunjung ke Surabaya. Presiden Zia Ul Haq rindu dengan kota yang pernah menjadi saksi solidaritas Tentara Gurkha yang dikomandoinya.Â
Kita akhirnya tahu bahwa Sang Presiden ternyata adalah Komandan Gurkha yang tidak mau memerangi arek-arek Surabaya di Pertempuran 10 Nopember 1945. Meski demikian, Presiden Zia Ul Haq yang dulunya menarik pasukan Gurkha-nya dari medan tempur kemudian dicap sebagai penghianat Inggris hingga ia dinyatakan tewas dalam ledakan pesawat C-130 di Bandara Bahawalpur.