Mohon tunggu...
Agusto Kusumawardhana
Agusto Kusumawardhana Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang pecinta alam

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Persepolis, Kota Kelahiran HAM 2.500 Tahun yang Lalu?

14 Maret 2010   15:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persepolis, nama itu pertama kali menarik perhatian saya ketika seorang kawan, peneliti berkebangsaan Iran, menceritakan bahwa Darius Agung, salah satu kaisar dari kekaisaran Persia kuno, mendeklarasikan undang-undang HAM (Hak Asasi Manusia) di kota tersebut lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Mana mungkin, kilah saya, HAM ‘kan baru populer dalam beberapa dekade terakhir ini saja. Itupun karena dipakai sebagai alasan oleh negara-negara tertentu untuk menekan negara-negara lainnya. Dia tertawa, kalau tak percaya, datang dan lihat sendiri kota kelahiran HAM tersebut. Disana terdapat banyak inskripsi yang akan membuat kamu percaya tentang hal itu. Karena itulah, ketika saya ditugaskan ke Teheran, Iran, saya segera mengunjungi Persepolis pada kesempatan pertama.

------

Nama Persepolis berasal dari bahasa Yunani yang artinya “Kota Bangsa Persia”, yaitu terjemahan dari Parsa, nama kota tersebut dalam bahasa Persia kuno, yang juga berarti “Kota Bangsa Persia”. Dalam bahasa Persia modern, kota ini dikenal dengan nama Takht-e Jamshid (Tahta Jamshid) dan Parseh.

Persepolis terletak sekitar 70 km timur laut kota Shiraz, ibukota provinsi Fars, Iran bagian barat daya. Berangkat dari Shiraz dengan menyewa taksi saya membutuhkan waktu kurang dari 1 jam untuk sampai ke Persepolis. Jalan antara Shiraz dan Persepolis lebar dan sangat mulus, seperti jalan tol Jagorawi.

Kota ini, atau tepatnya reruntuhan Persepolis, terletak di dekat sungai kecil bernama Pulwar, yang mengalir ke sungai lebih besar Kyrus. Situsnya sendiri berada di daerah perbukitan batu yang kering dan gersang yang disebut Kuh-e Rahmet, atau Gunung Anugerah.

Walaupun hanya tinggal reruntuhan, kemegahan Persepolis sangat terasa ketika saya mulai menapak 111 (seratus sebelas) anak tangga kayu, yang diletakkan di atas tangga asli yang terbuat dari batu kapur (limestone) untuk menghindari kerusakan akibat injakan kaki pengunjung. Tangga Persepolis ini mendaki sebuah struktur bangunan yang terbuat dari balok-balok batu kapur yang tersusun rapi berukuran 450 x 300 meter, atau sekitar 12,5 ha. Tinggi struktur bangunan tersebut sekitar 20 meter.

Struktur batu kapur tersebut, yang disebut Teras (Terrace), dibangun oleh Darius Agung pada tahun 512 SM dengan cara memapas puncak bukit di Gunung Anugerah serta mengurug bagian-bagian yang lebih rendah dengan bebatuan sehingga terbentuk hamparan yang rata seluas 12,5 ha. Di atas Teras tersebut Darius Agung membangun sebuah istana yang dinamakan Tachara, sebuah ruang audiensi yang disebut Apadana, dan sebuah ruang penyimpanan harta (Treasury). Ini merupakan pembangunan Tahap I dari lima tahapan pembangunan Persepolis. Tahap I ini berlangsung sampai dengan tahun 490 SM.

Gambar 1 – Tangga Persepolis

Bangunan pertama yang dijumpai setelah melewati tangga Persepolis adalah “Gerbang Semua Bangsa” atau Gate of All Nations. Gerbang terbuat dari marmer abu-abu tua ini dibangun oleh Xerxes Agung, putra Darius Agung, sebagai bagian dari Tahap II pembangunan Persepolis yang dilaksanakan antara tahun 490 – 480 SM.

Jalan masuk ke Gerbang Semua Bangsa dijaga oleh sepasang mahluk mitologi yang disebut Lamassu, yaitu banteng berkepala manusia berjanggut. Lamassu sebenarnya berasal dari Babylonia dan Assyria, namun kemudian diadopsi oleh Persia. Penempatan Lamassu di depan gerbang dimaksudkan untuk mengusir setan dan roh jahat.

Gerbang Semua Bangsa adalah sebuah bangunan besar dari marmer abu-abu, panjangnya sekitar 25 m, dilengkapi dua gerbang besar di bagian barat dan timur. Di sebelah selatan terdapat gerbang ketiga yang menuju ke Apadana.

Gambar 2 – Penulis di depan “Gerbang Semua Bangsa”

Setelah puas memelototi pahatan dan tulisan Persia kuno (serta membaca terjemahannya) saya melangkah ke ruang audiensi Apadana.

Apadana berbentuk persegi empat, terletak di tengah-tengah komplek seluas 12,5 ha tersebut. Ruang tersebut sangat besar, berukuran 60 x 60 m, sehingga mampu menampung ribuan orang untuk beraudiensi dengan kaisar secara bersamaan. Apadana merupakan bangunan terbesar dan tercantik di Persepolis. Atapnya ditopang oleh 72 (tujuh puluh dua) tiang besar terbuat dari batu marmer masing-masing setinggi sekitar 25 (dua puluh lima) meter. Sayang, saat ini hanya tinggal 13 (tiga belas) tiang yang masih berdiri dan bisa dilihat. Bagian atas tiang dibuat ukiran binatang banteng berkepala dua, singa, dan elang.

Nama Darius Agung serta rincian tentang kekaisaran Persia ditulis diatas lempeng perak dan emas yang disimpan dalam kotak yang diletakkan dalam pondasi di keempat sudut Apadana.

Pembangunan Apadana dimulai Darius Agung pada tahun 512 SM, dan diselesaikan oleh anaknya Xerxes Agung 30 tahun kemudian.

Gambar 3 – Tiang Apadana

Di sebelah selatan Apadana terdapat istana kecil yang disebut Istana Darius atau Tachara (Istana Musim Dingin). Pembangunan istana ini dimulai oleh Darius namun baru dapat diselesaikan pada jaman Xerxes. Karenanya, kemungkinan besar Darius tidak pernah merasakan kenikmatan hidup dalam istana tersebut.

Berdampingan dengan Apadana terdapat Ruang Tahta (Throne Hall). Ruang Tahta merupakan bangunan terbesar kedua setelah Apadana.Bangunan ini disebut juga Ruang Kehormatan Tentara Kekaisaran atau Istana Bertiang Seratus (Hundred-Columns Palace).

Ruang Tahta yang berukuran 70 x 70 m dibangun oleh Xerxes Agung dan diselesaikan oleh anaknya Artaxerxes I pada akhir abad ke-5 SM. Pada waktu pemerintahan Xerxes, Ruang Tahta difungsikan sebagai tempat untuk menerima kunjungan komandan tentara kekaisaran serta perwakilan bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaan Persia. Pada perkembangan selanjutnya Ruang Tahta dijadikan sebagai museum kekaisaran. Selain itu, Ruang Tahta pernah juga dipakai sebagai ruang penyimpanan harta kekaisaran.

Pada pembangunan Tahap III, antara tahun 480 – 470 SM, Xerxes Agung membangun istana untuk dirinya sendiri yang diberi nama Hadish, atau “tempat tinggal” dalam bahasa Persia kuno. Istana Xerxes terletak di antara Apadana dan Treasury. Istana ini berukuran dua kali lebih besar dari Istana Darius.

Dalam Tahap III ini bagian barat dari bangunan Treasury direnovasi dan kemudian lebih dikenal dengan nama Harem. Tidak seperti “harem” yang kita kenal selama ini, Harem di Persepolis digunakan sebagai tempat tinggal pegawai istana. Karena itu, letak bangunan Harem dibuat lebih rendah dari istana-istana di Persepolis.

Selain yang di atas, masih ada lagi bangunan di Persepolis yang tidak akan saya uraikan satu per satu dalam tulisan ini. Antara lain: Istana Artaxerxes I, Ruang Bertiang Tiga Puluh Dua (Hall of Thirty-Two Columns), serta Kuburan Artaxerxes II Mnemon dan Artaxerxes III Ochus yang dipahat di bukit Kuh-e Rahmet.

------

Sedihnya, perjalanan singkat saya ke Persepolis tidak menemukan adanya inskripsi Darius Agung tentang HAM. Namun saya mendapat informasi bahwa pada tahun 1931 – 1939 arkeolog Ernst Herzfeld dan F. Schmidt menemukan apa yang disebut “Persepolis Fortification Tablets”, yaitu koleksi tablet tanah liat yang memuat teks dalam bahasa Elamite, bahasa resmi kekaisaran Persia kuno. Jumlahnya banyak sekali, antara 25.000 sampai 30.000 tablet, yang umumnya berisi informasi tentang administrasi pemerintahan kekaisaran Persia. Namun sejauh ini hanya sedikit informasi yang telah didiseminasikan Pemerintah Iran tentang isi tablet-tablet tersebut. Mungkin saja satu atau lebih tablet-tablet tersebut memuat undang-undang HAM yang dideklarasikan oleh Darius Agung sekitar 2500 tahun yang lalu.

Sekedar tambahan informasi, nasib Persepolis yang indah ternyata berakhir sangat tragis. Dia dijarah, dihancurkan, dan dibakar atas perintah Iskandar Agung (Alexander the Great) dari Macedonia yang menaklukkan kekaisaran Persia pada tahun 330 SM. Ahli sejarah menyebutkan bahwa Iskandar Agung melakukannya karena membalas penghancuran Athena oleh tentara Persia pada tahun 430 SM. Namun sejarah juga mencatat bagaimana Iskandar Agung sangat menyesali perintahnya tersebut setelah menyaksikan reruntuhan Persepolis beberapa tahun kemudian. Sejak itu, Persepolis menghilang dari sejarah dunia selama lebih dari 2.000 tahun, sampai dia ditemukan kembali oleh Cornelis de Bruijn dari Belanda pada tahun 1704.

Dewasa ini, banyak ahli mengkhawatirkan bahwa nasib Persepolis dapat lebih tragis lagi. Pembangunan dam Sivand yang terletak antara Persepolis dan Pasargadae (ibukota kekaisaran Persia pada masa Cyrus Agung) dapat mengancam keberadaan kedua situs bersejarah warisan dunia (World Heritage) tersebut. Selain itu, ancaman bermotif keagamaan juga menghantui Persepolis. Sebagian orang Iran menganggap bahwa masa-masa sebelum masuknya Islam ke Iran merupakan jaman jahiliah sehingga peninggalannya harus dimusnahkan. Berdasarkan alasan tersebut pada tahun 1979 Ayatullah Sadegh Khalkhali, salah satu tangan kanan Ayatullah Ruhollah Khomeini, berusaha menghancurkan Persepolis dengan bulldozer. Untunglah, usaha penghancuran tersebut berhasil dicegah oleh pejabat provinsi Fars…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun