Mohon tunggu...
Agusto Kusumawardhana
Agusto Kusumawardhana Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang pecinta alam

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Indonesia? Oh, yes, badminton!

13 Maret 2010   12:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:27 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Awal Desember tahun lalu saya ditugaskan untuk yang ketiga kalinya ke negara Iran. Karena sudah menjelang akhir tahun, kesempatan tersebut sekaligus saya manfaatkan untuk berlibur bersama istri dengan mengunjungi berbagai kota di bagian tengah dan selatan Iran, antara lain Isfahan yang terkenal akan keindahan kotanya serta Shiraz yang terkenal dengan penyair-penyair berkelas dunia.

Pada kesempatan ini, saya tidak bercerita tentang pengalaman kami mengunjungi obyek-obyek wisata di Iran, tapi sekedar berbagi kejadian kecil yang, menurut saya, sangat menarik.

Sore itu saya baru saja selesai check-in di salah satu hotel di downtown Shiraz. Istri saya minta saya membeli air mineral karena kami harus banyak minum untuk menghindarkan dehidrasi di udara yang kering namun dingin menyusup ke tulang (saat itu Iran sedang mengalami musim dingin). Saya keluar komplek hotel dan mencari supermarket atau sejenisnya. Tidak terlalu jauh berjalan kaki saya menemukan sebuah toko kecil, semacam warung di Indonesia, yang menjual buah-buahan serta berbagai jenis minuman dalam kemasan. Saya menemukan air mineral yang saya cari dan mengambil beberapa botol untuk dibawa ke kasir.

Karena tidak bisa berbahasa Parsi (bahasa resmi Iran) ataupun Arab, saya berbicara dengan kasir dalam bahasa Inggris. Sambil menghitung uang kembalian, sang kasir berulangkali melirik saya. Mungkin karena postur badan dan penampilan saya yang memang tampak berbeda. Dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah dia bertanya pada saya: “From China, Sir?” Saya menggeleng sambil tersenyum. “From Japan?” tanyanya lagi setengah penasaran. “No, I am from Indonesia”, jawab saya mencoba seramah mungkin. “From Indonesia, huh? Oh, yes, badminton!” setengah berteriak dia memperagakan gaya smash-nya Lim Swie King sambil melompat. Sejenak saya terperangah, kemudian mengangguk cepat berulangkali. Sayangnya, percakapan tersebut harus berakhir disitu. Dia hanya mengangkat bahu ketika saya mencoba berkomunikasi lebih lanjut dalam bahasa Inggris. Mungkin karena aksen saya yang aneh, mungkin juga karena dia memang kurang menguasai bahasa tersebut. Entahlah.

Sambil menenteng botol air mineral saya kembali ke hotel dengan pikiran yang berkecamuk. Indonesia, badminton, Indonesia, badminton… Kejadian itu membuat saya mengenang dan terkagum-kagum akan prestasi Indonesia dalam bidang perbulutangkisan. Hei, itu kan jaman dulu, jamannya Rudi Hartono, Lim Swie King, Cuncun/Johan Wahyudi, Christian/Ade Chandra, dan lain-lain. Sekarang?

Ironis rasanya, perjalanan kami di tengah gurun di Iran justru membangkitkan nostalgia akan kejayaan Indonesia yang sudah lama dilibas China…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun