Awal Desember tahun lalu saya ditugaskan untuk yang ketiga kalinya ke negara Iran. Karena sudah menjelang akhir tahun, kesempatan tersebut sekaligus saya manfaatkan untuk berlibur bersama istri dengan mengunjungi berbagai kota di bagian tengah dan selatan Iran, antara lain Isfahan yang terkenal akan keindahan kotanya serta Shiraz yang terkenal dengan penyair-penyair berkelas dunia.
Pada kesempatan ini, saya tidak bercerita tentang pengalaman kami mengunjungi obyek-obyek wisata di Iran, tapi sekedar berbagi kejadian kecil yang, menurut saya, sangat menarik.
Sore itu saya baru saja selesai check-in di salah satu hotel di downtown Shiraz. Istri saya minta saya membeli air mineral karena kami harus banyak minum untuk menghindarkan dehidrasi di udara yang kering namun dingin menyusup ke tulang (saat itu Iran sedang mengalami musim dingin). Saya keluar komplek hotel dan mencari supermarket atau sejenisnya. Tidak terlalu jauh berjalan kaki saya menemukan sebuah toko kecil, semacam warung di Indonesia, yang menjual buah-buahan serta berbagai jenis minuman dalam kemasan. Saya menemukan air mineral yang saya cari dan mengambil beberapa botol untuk dibawa ke kasir.
Karena tidak bisa berbahasa Parsi (bahasa resmi Iran) ataupun Arab, saya berbicara dengan kasir dalam bahasa Inggris. Sambil menghitung uang kembalian, sang kasir berulangkali melirik saya. Mungkin karena postur badan dan penampilan saya yang memang tampak berbeda. Dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah dia bertanya pada saya: “From China, Sir?” Saya menggeleng sambil tersenyum. “From Japan?” tanyanya lagi setengah penasaran. “No, I am from Indonesia”, jawab saya mencoba seramah mungkin. “From Indonesia, huh? Oh, yes, badminton!” setengah berteriak dia memperagakan gaya smash-nya Lim Swie King sambil melompat. Sejenak saya terperangah, kemudian mengangguk cepat berulangkali. Sayangnya, percakapan tersebut harus berakhir disitu. Dia hanya mengangkat bahu ketika saya mencoba berkomunikasi lebih lanjut dalam bahasa Inggris. Mungkin karena aksen saya yang aneh, mungkin juga karena dia memang kurang menguasai bahasa tersebut. Entahlah.
Sambil menenteng botol air mineral saya kembali ke hotel dengan pikiran yang berkecamuk. Indonesia, badminton, Indonesia, badminton… Kejadian itu membuat saya mengenang dan terkagum-kagum akan prestasi Indonesia dalam bidang perbulutangkisan. Hei, itu kan jaman dulu, jamannya Rudi Hartono, Lim Swie King, Cuncun/Johan Wahyudi, Christian/Ade Chandra, dan lain-lain. Sekarang?
Ironis rasanya, perjalanan kami di tengah gurun di Iran justru membangkitkan nostalgia akan kejayaan Indonesia yang sudah lama dilibas China…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H