Hubungan psikologi masyarakat dan parpol cukup unik. Semestinya parpol merupakan irisan-irisan dalam kerangka besar masyarakat. Namun tanpa sadar persepsi sering menggiring parpol seperti berada di luar masyarakat. Mungkin masih dalam proses untuk menyadari sepenuhnya bahwa parpol memang mewakili masyarakat. Beberapa tahun terakhir, politik berubah menjadi berwarna dan menarik untuk disimak. Tidak hanya oleh pengamat, akademisi, atau lembaga survei, bahkan netizen dan masyarakat umum. Mudah-mudahan ini gejala positif bahwa memang telah terjadi proses pembelajaran dalam masyarakat yang semakin pintar dan sadar politik. Kalau ingin perubahan yang lebih baik, masuklah ke dalam sistem demokrasi yang ada seperti pemilu. Kemudian ubahlah untuk menjadi lebih baik dengan memanfaatkan hak pilih, tidak menunggu orang lain untuk melakukannya.
Quick Count yang menunjukkan kemenangan tipis Banteng dalam pileg 9 April 2014 menggelitik untuk dipelajari. Ada yang bilang Jokowi Effect tidak ngefek; ada yang menjawab santai lha iyalah, wong pileg bukan pilpres. Jokowi sendiri diberitakan sempat berujar seperti berikut: pileg kok yang diserang saya. Di antara serunya demokrasi yang sedang berproses, artikel berikut mencoba mencari sisi positif dari kemenangan tipis Banteng.
Introspeksi
Tanpa menjadi seorang politikus pun, secara kasat mata hati, pencapresan Jokowi terlihat setengah hati. Mengapa demikian? Jokowi yang dibilang sebagai “anak kost” bukanlah pemimpin tertinggi parpol, juga bukan dari “darah biru” dimana orang tua atau kakek nenek tercatat sejarah pernah memimpin negeri tercinta ini. Dengan riwayat hidup yang apa adanya sebagaimana rakyat biasa, namun akselerasi karier Jokowi dari Walikota Solo ke Gubernur DKI Jakarta kemudian di-capres-kan terbilang luar biasa, maka wajar apabila pro-kontra sangat akrab menemaninya. Sederet elit internal Banteng pun sebelumnya sering menolak kemungkinan Jokowi akan dicapreskan, pokoknya menunggu Ibu Ketum yang bicara sendiri. Sampai bosan rasanya pembaca media on-line mendapati alasan yang sama diungkapkan oleh orang-orang yang itu-itu saja. Walaupun in the last minute, Jokowi diberi mandat sebagai capres sebelum pileg, rasa bosan dan sebel terlanjur membesar. Bisa jadi segenap masyarakat ini menjadi golput, atau memilih selain Banteng.
Rasa bosan dan sebel ternyata bertambah lagi. Masa capres tidak terlihat menjadi aktor dalam iklan. Banyak sopir taksi, tukang ojek, ibu warung, dan teman-temannya ngrasani, kok Pak Jokowi tidak ada di iklan, malah ibu-ibu itu. Sebenarnya niat apa gak sih mengajukan Pak Jokowi sebagai capres? Kasihan lho Pak Jokowi, sekarang kan masih pileg, belum pilpres, tapi diserang sana sini. Untung orangnya baik dan sabar.
Quick Count mengindikasikan Banteng mendapatkan suara pada kisaran 19%, yang menebarkan pesan posisi berada di puncak, namun harus lebih kerja keras dan cerdas menangkap aspirasi masyarakat. Sinergi musti dikuatkan antara partai-masyarakat-capres-cawapres. Apalagi juara pileg sesungguhnya terdeteksi golput, yang diberitakan berkisar 24%-25%. Semoga golput tersebut bukan murni golput, namun swing voters galau, yang tanggal 9 Juli nanti akan tergerak dan berkenan mendaratkan pilihan hati.
Memilih cawapres lebih hati-hati
Mempertimbangkan kemenangan tipis, pemilihan cawapres sudah semestinya lebih hati-hati. Kriteria cawapres semestinya yang memperkuat daya pilih berpasangan dengan Jokowi sebagai capres. Selain sulit dilakukan, sebaiknya melupakan cita-cita cawapres dari internal Banteng, namun lebih berorientasi pada jago-jago handal di luar kandang. Koalisi bagaimanapun perlu dilakukan secara strategis dan berorientasi untuk Indonesia yang lebih baik. Kriterianya antara lain bersih dan tidak korupsi, sigap dan tegas, mencintai rakyat, mudah bekerjasama, punya kapasitas dan pengalaman di lingkup eksekutif, menyadari posisi sebagai wakil, dan lainnya. Untuk poin terakhir, artinya kurang lebih wakil harus mendukung dengan komunikasi yang konstruktif. Maksudnya meskipun dapat saja bertentangan, namun tetap kuat menjaga integritas, dan terkomunikasikan dengan baik demi mengutamakan kepentingan masyarakat.
Tidak mudah menjaga ritme kerja pasangan pucuk pimpinan tertinggi negara. Pembagian tugas harus jelas, serta saling memahami dan mendukung secara kuat. Presiden tampil pada kondisi-kondisi strategis dan paling dibutuhkan, sementara Wakil Presiden siap mendukung dengan penguasaan substansi dan koordinasi dari dan dengan kabinet.
Memunculkan fighting spirit
Keterbatasan, ketidakberuntungan, keterpurukan, dan kekalahan merupakan kondisi-kondisi negatif yang dapat dilihat dengan cara lain untuk memunculkan sisi-sisi positif. Meskipun kemenangan tipis sesungguhnya bukanlah kekalahan, namun sebagian menganggap sebagai potensi kekalahan. Untuk itu celah-celah potensi kekalahan harus ditutup. Mungkin selama ini moncernya Jokowi menyilaukan barisan Banteng untuk menyingsingkan lengan bekerja keras. Terbit semacam keyakinan semu untuk menang hanya dengan mengandalkan kebesaran Jokowi. Kondisi alpa ini dijawab masyarakat dengan kemenangan tipis, mungkin sebagian caleg tersungkur bersama bayangan indah kemenangan besar.
Kondisi final belumlah terjadi. Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk sebentuk keyakinan semu, tanpa dibarengi upaya kerja keras meraih kemenangan. Giliran mesin partai, para kader dan caleg terutama yang telah menang, untuk bergerak menyingsingkan lengan melebur dengan masyarakat untuk memenangkan capres yang diusung. Tidak ingin kalah dan ingin kondisi yang lebih baik dengan pasangan pemimpin yang positif dan prospektif akan melecut fighting spirit untuk menang. Semangat itu yang semestinya dapat dikobarkan dan ditularkan ke segenap masyarakat. Memang tidak mudah mengobarkan semangat juang di tengah-tengah masyarakat yang apatis karena terlalu lama teraniaya oleh sederetan panjang pimpinan korup. Namun bukankah itu seninya berdemokrasi?
Orang baik harus peduli
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Anies Baswedan dalam beberapa kesempatan, prinsipnya orang baik semestinya peduli dan bergerak ikut memecahkan permasalahan, tidak hanya diam menyaksikan banyak keburukan, kesalahan, dan kejahatan mencabik-cabik masyarakat. Menunggu datangnya seorang pahlawan untuk menolong masyarakat hanya akan menunda penyelesaian masalah dan bisa jadi memperbesar jumlah korban. Setiap orang bisa berbuat baik untuk kebaikan dan keselamatan diri dan masyarakat. Demikian juga dengan pilpres. Kalau ingin perbaikan, pilihlah capres dengan hati nurani. Ukuran kebaikan cukup hati nurani. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H