Banyak orang terharu dengan kebesaran hati Surya Paloh menerima Jokowi yang mengusung cita-cita kerjasama untuk pemerintahan yang lebih kuat dan Indonesia yang lebih baik. Ternyata bukan Jokowi semata yang menginginkan Presiden semestinya didukung kabinet yang kuat dan profesional dalam menjalankan pemerintahan, bukan kabinet timpang hasil bagi-bagi kursi koalisi. Meskipun ada juga yang mencemooh bahwa mustahil koalisi tanpa bagi-bagi kursi Menteri. Namun bersyukur rasanya mengetahui tidak semua elit parpol pragmatis untuk kekuasaan dan pesimis dengan kerasnya gesekan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Masih ada cahaya terang yang menerangi sisi-sisi pelaksanaan demokrasi di negeri tercinta ini. Masih ada Surya Paloh yang memiliki pemikiran sejalan, memiliki optimisme yang besar untuk menjawab tantangan masa depan; semakin sulitnya bertahan sebagai bangsa yang besar dan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Bukan untuk mencari kesalahan, namun evaluasi perlu dilakukan untuk perbaikan sistem dan pencapaian kondisi yang lebih baik. Jujur saja bagi mata publik, pimpinan tertinggi kementerian sebagai bagian dari kabinet tidak semuanya dapat bekerja dengan optimal. Yang paling mudah dilihat dan dirasakan oleh segenap masyarakat antara lain bidang pertanian. Melambungnya harga kedelai menyebabkan tempe sempat menghilang di pasar. Pengrajin tempe tak kuasa membeli kedelai sebagai bahan baku tempe dengan harga selangit. Lantas berapa harga tempe, yang menjadi menu harian masyarakat, harus dijual? Dari dialog dengan beberapa pengusaha dan akademisi, harga produksi kedelai di tanah air, diinformasikan lebih mahal daripada harga impor kedelai, misalnya dari US. Sehingga jatuhnya lebih murah impor daripada menanam kedelai. Artinya produksi kedelai yang semestinya melibatkan pengusaha pupuk, penyedia benih, penjual pestisida, dan petani, dikalahkan dengan praktisnya impor kedelai yang melibatkan importir, distributor, dan pedagang. Untuk jangka menengah dan panjang, impor kedelai ini menghantam produktivitas termasuk petani dan pengusaha tempe merugi. Mungkin masalahnya tidak sesederhana ini, namun pemikiran masyarakat perlu dibuka untuk diajak memahami permasalahan secara lebih proporsional.
Contoh lain, melambungnya harga daging sapi membuat kalang kabut pedagang baso dan rendang serta ibu-ibu rumah tangga. Sebagian besar masyarakat suka baso dan rendang, maka isu daging sapi ini belum juga pupus sampai sekarang. Mengapa harus impor dari Australia sementara negara lain seperti India atau Brazil juga menawarkan kerjasama bahkan dengan harga yang lebih kompetitif? Mengapa peternakan sapi yang memiliki pembenihan bibit unggul seperti yang di Singosari, Malang atau di Lembang tidak dioptimalkan untuk mengatasi permasalahan ini? Sapi Bali tidak kalah dengan Sapi Brahmana atau sapi unggul dari negara lain. Ini juga pertanyaan yang entah siapa bisa menjawab. Memang bidang pertanian tidak bisa berdiri sendiri. Dalam hal ini sektor pertanian terkait dengan perdagangan. Pertanyaan selanjutnya, untuk sektor perdagangan, mengapa impor begitu melimpah sehingga boros menghabiskan devisa? Komoditi yang semestinya melimpah di tanah air, sekarang impor, seperti bawang, cabe rawit, kentang, jeruk, apel, bahkan garam. Laut Indonesia yang meliputi 2/3 wilayah Indonesia seperti tanpa makna mengetahui garam pun diimpor dari negara lain.
Sektor tenaga kerja juga membikin merinding. Mengapa banyak TKI yang sepertinya tanpa modal kapasitas memadai bisa lolos bekerja di luar negeri? Mengapa begitu banyak permasalahan hukum dihadapi ketika mereka bekerja di negeri orang? Mengapa kesannya perwakilan Pemerintah di luar negeri jadi seperti pemadam kebakaran yang kalang kabut mengatasi permasalahan warga negaranya? Mengapa permasalahan terkesan dibiarkan puluhan tahun tanpa menyusun kebijakan dan peraturan yang mengatasi permasalahan dan mencegah untuk terulang lagi?
Ketika menyadari permasalahan bangsa demikian rumit dan berat, sudah saatnya sistem presidensial diperbaiki dan diperkuat dengan kerjasama antar parpol dengan platform sejalan. Konsekuensi sistem demokrasi dengan multi parpol, memiliki ego parpol yang bervariasi dengan kepentingan sendiri-sendiri, yang seringkali terkesan menghambat terbentuknya pemerintahan yang kuat. Memang idealnya kerjasama untuk penguatan sistem presidensial dan bukan untuk sekedar bagi-bagi kekuasaan. Ketika niat baik sudah tertanam, kesepakataan untuk langkah selanjutnya menjadi lebih mudah untuk perbaikan kehidupan bernegara dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sepertinya Jokowi tidak bermimpi sendiri, ada Surya Paloh yang juga bermimpi sama. Mungkin sebagian besar masyarakat juga bermimpi yang sama. Mudah-mudahan mimpi bersama akan menjadi nyata. Sayup-sayup lagu John Lennon yang berjudul Imagine mengalun syahdu dari laptop.
....
You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one
....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H