Tanggal 19 Mei 2015, sehari sebelum Hari Kebangkitan Nasional. Hari Selasa seperti Hari Selasa sebelumnya. Siang hari yang panas, seperti biasa dirasakan di Jakarta. Tahu-tahu mobil sejuta umat berhenti di Pos Pemeriksaan Kantor Sekretariat Negara. Lamunan buyar karena harus memberitahukan tujuan datang di kompleks Istana. Petugas memberi tahu arah untuk menuju Ruang Tunggu Tamu Presiden. Deg deg deg. Jantung serasa bertalu-talu. Wooooiii… diundang makan siang di istana, kayak orang penting saja. Teriakan di dalam hati kiranya dapat meredam kegugupan.
Lama tidak menulis di Kompasiana, malah dapat undangan makan siang di Istana. Presiden RI mengundang makan siang penulis-penulis Kompasiana. Alhamdulilah. Dunia maya menjadi dunia nyata. Aku periksa lagi pesan Mba Niken Satyawati di handphone. Tetap tidak berubah, 13 orang Kompasianer diundang makan siang oleh Presiden.
Akhirnya sampai juga di ruang tunggu yang elegan. Kesempatan langka datang juga untuk bertemu dan mengenal penulis-penulis top seperti Mas Pepih yang kalem, Mbak Niken Satyawati yang bersemangat, Mas Gunawan yang idealis, Mas Gatot Swandito yang gagah perkasa, Pak Stefanus Toni atau Tante Paku yang legend, Mas Wahyu yang so sweet, Mas Erri yang terhanyut dengan Papua, Mas Nino yang lemah lembut, dan Mas Ninoy Karundeng yang meledak-ledak. Senang rasanya bisa berbincang-bincang dengan penulis-penulis yang idenya tak pernah kering dan motivasi menulis tak pernah luntur.
Theng theng theng…pukul 12.00. Para kompasianers diminta masuk ruang makan Istana. Sayangnya semua gadget tidak diperkenankan dibawa masuk. Wah… alamat tidak bisa selfie sama Presiden. Yang terhormat Pak Teten Masduki menyambut kami dengan ramah. Karpet merah tebal mengantar kami sampai di meja makan. Wah, sudah ada nama-nama kami ditulis di prisma kertas diletakkan di atas meja kayu panjang, menandai kursi mana yang harus kami duduki. Semua duduk di kursi keemasan, masing-masing dengan wajah sumringah. Lampu-lampu kristal cantik yang menggantung di langit-langit, cahayanya kalah dengan cerahnya wajah para kompasianers. Wah, ruang makan itu seperti ball room, ruang dansa para ningrat. Cantik.
Dari pintu sebelah kiri Presiden masuk ruangan. Semua berdiri dan satu persatu bersalaman dengan Pak Jokowi yang terlihat tetap ramah, santun, dan sederhana. Kemudian beliau duduk, kebetulan berseberangan dengan saya, jadi bisa memandangi sosok tahan banting yang sering dihujat namun sering juga dipuji. Maaf Pak Presiden, saya senang mengamati setiap senyum dan gerak Bapak yang natural. Beliau buru-buru mempersilakan semua makan siang dulu sebelum duduk dan berdiskusi.
Setelah makan siang yang nikmat, kami mulai mengenalkan diri dan dilanjutkan dengan diskusi. Mas Pepih mengundang Presiden pada Kompasianival nanti. Mas Ninoy menyampaikan masukan dengan semangat 45. Tante Paku dengan senioritasnya memberikan saran dan pendapat. Mba Niken dengan ketulusannya menunjukkan empati. Mas Wahyu mengusulkan energi terbarukan. Sambal terbatuk-batuk hebat, saya hanya mampu menikmati semua diskusi seperti adegan slow motion di film, indah.
Kompasianers memang hebat, tulisan-tulisannya mengaum, menggerakkan Presiden untuk menoleh dan mengundang makan siang serta diskusi. Memang seperti ini demokrasi pertama kali dibangun, dengan diskusi, dengan mendengarkan dan berpendapat. Semoga ini bukan perjamuan terakhir dengan kompasianers. Semoga negeri tercinta ini semakin baik dan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H