Meletusnya Gunung Kelud mendorong anak-anak mempelajari peta Jawa Timur, kota-kota mana saja yang mendapat berkah abu vulkanik. Meskipun abu itu juga mengembara jauh sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebagai salah satu kota yang terdekat dengan Gunung Kelud, Kediri dan Joyoboyo menjadi perhatian anakku. Remaja tanggung yang duduk di bangku kelas 10 itu asyik surfing di internet. Dia penasaran dengan kisah Joyoboyo, seorang Maharaja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Bagaimana mungkin pada masa itu Joyoboyo telah meramalkan kejadian-kejadian yang melesat berabad-abad di depannya? Sekuat apakah daya nalar dan juga pengalaman spiritual Sang Maharaja? Bagaimana cara belajar mengasah otak dan logikanya hingga memunculkan ramalan-ramalan yang sungguh berdaya tolak jauh ke masa depan? Bagaimana wujud perguruan para raja dan bangsawan serta sistem pengajaran yang diberlakukan sehingga menghasilkan pemikiran sedemikian visioner?
Berikut sedikit kutipan ramalan Joyoboyo yang membuat murid kelas 10 itu terpekur memainkan tablet kesayangan, mencari-cari jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya.
....Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran
Tanah Jowo kalungan wesi
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang
Kali ilang kedhunge
Pasar ilang kumandhang
Iku tandha yen tekane zaman Joyoboyo wis cedhak....
Kalimat-kalimat bahasa Jawa tersebut dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
....Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda
Pulau Jawa berkalung besi
Perahu berjalan di atas langit
Sungai kehilangan mata air
Pasar kehilangan ramai suara
Itulah pertanda kalau datangnya zaman Joyoboyo telah dekat....
Sekitar abad 11 ketika Joyoboyo memerintah, dapat diartikan transportasi umum seperti kereta yang ditarik oleh kuda. Pada saat itu Joyoboyo mengandaikan suatu ketika akan ada kereta yang berjalan tanpa kuda. Apakah yang dimaksudkan adalah kereta api? Penekanan makna didukung dengan kalimat berikutnya, Pulau Jawa berkalung besi. Kalung besi dapat dimaknai sebagai rel kereta api yang banyak rute nya di Pulau Jawa, sebagai jalan dari kereta tanpa kuda atau kereta api. Berdasar pencarian melalui google, James Watt yang dilahirkan 19 Januari 1736 di Greenock Skotlandia, menemukan mesin uap pada tahun 1769. Mesin uap ini menuntun pada penemuan kereta api uap. Sehingga secara sederhana bisa dikatakan, visi Joyoboyo, terbukti sekitar 6 abad kemudian. Sungguh mengagumkan kuatnya pemikiran Raja Jawa tersebut.
Dengan antusias anak SMA itu meneliti kembali kalimat-kalimat sakti Joyoboyo. Perahu berjalan di atas langit diartikannya sebagai pesawat terbang. Bagaimana Joyoboyo bisa membayangkan sebuah perahu bisa berjalan di atas langit pada masa itu? Apakah yang memicu pemikiran Joyoboyo sehingga perahu yang tanpa sayap seperti halnya burung terbang di angkasa, dapat berjalan di atas langit? Kembali itu bukan semata-mata khayalan anak manusia. Dalam buku catatan Leonardo da Vinci, seorang jenius di banyak bidang, ilmuwan sekaligus seniman yang hidup sekitar 1452-1519, telah ditemukan rancangan mesin terbang. Masa ini berjarak loncatan 3 abad dari masa Joyoboyo. Pesawat yang dapat terbang di udara baru ditemukan oleh Wright Bersaudara pada tahun 1903. Kembali masa ini berjarak sekitar 8 abad dari masa Joyoboyo. Betapa Joyoboyo pimpinan yang punya visi jauh kedepan. Tak kalah dengan JFK dengan visi mendaratkan manusia di bulan.
Anakku ternyata menyerah untuk memaknai kalimat Sungai kehilangan mata air. Sekejap ia bersorak untuk kalimat berikutnya: Pasar kehilangan ramai suara.
“Bapak gak tau? Pasar kehilangan ramai suara, ya iyalah. Itu kan yang dimaksud pasar on line. Pasar yang tidak fisik, tidak ada suara tawar menawar antara penjual dan pembeli. Seperti Kaskus atau Toko Bagus. Keren bener Joyoboyo. Bisa masuk ke zaman internet.”
“Hahaha...baguslah kamu mau belajar sejarah. Tidak melulu ngulik toblat-tablet.”
“Iya, Pak. Zaman dulu saja ada orang sejenius Joyoboyo. Zaman sekarang semestinya lebih banyak orang Indonesia yang jenius.”
“Orang jenius, atau pinter itu penting, Nak. Namun lebih penting lagi orang yang selalu eling sama Gustiallah dan waspada untuk selalu berbuat baik.”
“Apakah itu syarat untuk calon presiden, Pak?”
“Lha itu kamu sudah bisa berpikir apa yang terbaik untuk negara ini.”
Melihat ke belakang untuk berpikir jauh kedepan sering perlu dilakukan untuk menyambut esok yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H