Mohon tunggu...
Yodha Haryadi
Yodha Haryadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Jakarta citizen that concerns on development for prosperity and better life: \r\n"I love you when you bow in your mosque, kneel in your temple, pray in your church. For you and I are sons of one religion, and it is the spirit." (Gibran)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemungutan Suara Ulang? Cape, deh!

8 Agustus 2014   23:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:02 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rekan kerja penulis terlihat geleng-geleng kepala sambil terkekeh memecah keheningan Jumat pagi di ruang kantor, saat membaca permohonan tersebut yang termuat dalam tribunnews.com, Jakarta: Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonannya untuk memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia. Permintaan itu disampaikan tim pengacara Prabowo-Hatta dalam persidangan sengketa hasil Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (8/8/2014).

Rekan penulis ngedumel, “Bikin aja pilpres sendiri, panitia sendiri, tps sendiri, rakyat sendiri, quick count sendiri, biaya sendiri, pasti menang jadi presiden sendiri.” Begini alasan rekan kerja penulis mengapa terkesan tak percaya dan menganggap lucu munculnya permohonan pemungutan suara ulang:

Move on dari pesta demokrasi. Memangnya 133.574.277 orang warga negara Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri yang baik dan mencintai Indonesia tidak butuh move-on dari pesta demokrasi? Sungguh senang bisa terlibat dalam pilpres terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Namun rasanya pesta sudah cukup, enough is enough, rakyat juga butuh ruang untuk hidupnya sendiri. Bisa bekerja kembali di kantor secara profesional, bisa kuliah memanjakan logika, bisa nongkrong dengan teman sambil merencanakan bisnis bersama, bisa bercanda bebas dengan tetangga tanpa peduli beda dukungan ke capres nomor 1 atau 2, dan hubungan kemanusiaan lain yang damai tanpa prasangka. Biarlah pilpres 2014 terukir sebagai sejarah, dengan hasil apa adanya, dan tidak sempurna. Dari yang tidak sempurna, bisa diambil pelajaran untuk perbaikan pilpres periode berikutnya. Dari hasil yang didapat, dipakai sebagai modal untuk melanjutkan pemerintahan yang telah terbangun dan menyegarkan dengan presiden dan jajarannya yang baru.

Sabar itu ada batasnya. Selama ini rakyat biasa telah ngemong figur-figur yang semestinya jadi panutan baik untuk tutur kata maupun perbuatan. Begitu sabar menonton dari jauh gaduh para elite yang memainkan drama politik. Sabar menunggu dan mengikuti aturan main demokrasi, tahap-tahap yang sebenarnya melelahkan fisik dan psikis. Apakah kesabaran itu akan dipermainkan dengan mengulang proses pemungutan suara? Tidakkah dipikirkan betapa galaunya rakyat seandainya pemungutan suara diulang? Terlihat kegalauan rakyat tidak menjadi pertimbangan permohonan. Toh mereka akan tetap setia dengan pilihan pertama, karena itu yang sebenarnya keluar dari hati nurani. Apakah tidak terlintas akan ada perubahan dan peralihan suara besar-besaran untuk capres yang lebih ramah kepada rakyat dan terbukti adem bersikap sekalipun dalam kondisi dizalimi diri dan keluarganya?

Bagaimana kalau kalah lagi? Suara keras penuh hujatan dan penampilan pongah selama ini dipertontonkan dan sebagian besar rakyat yang sudah cerdas terbukti menolak untuk berpihak dan memilih. Orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain belum tentu dirinya lebih baik daripada yang dijelek-jeklekkan. Melihat kepongahan masih dipamerkan dari mengingkari kekalahan hasil pilpres sampai tahap menunggu keputusan MK, apakah tidak sadar ratusan juta rakyat menyaksikan dan dapat menilai apa yang sesungguhnya terjadi? Bagaimana seandainya rasa kecewa karena menanti kebesaran jiwa untuk mengaku kalah tak kunjung muncul, berujung pada menggerakkan kesadaran sebagian rakyat bahwa pilihan sebelumnya itu salah dan memotivasi mengalihkan dukungan kepada pemenang dan bukan yang terbukti kalah? Apakah kalau akhirnya kalah lagi mau memohon pemungutan suara diulang lagi dan lagi?

Demokrasi tidak bisa dipaksa. Demokrasi dimaknai kekuasaan ada di tangan rakyat, bukan ada di tangan perorangan.Kalau seorang presiden berkuasa, itu karena mendapat mandat dari rakyat melalui proses pemilihan. Kalau rakyat Indonesia bangga dengan demokrasi yang dianut, mengapa mencoba memaksa rakyatmemilih capres tertentu dari kandidat capres yang ada? Siapapun yang dipilih rakyat dengan suara terbanyak, itu yang terbaik untuk rakyat Indonesia. Mengapa fakta ini harus diingkari?

Jadi logika rekan-rekan di kantor, rakyat sudah memberikan suara dan menentukan pilihan. Mengenai pelaksanaan yang banyak salah, itu proses alami yang wajar terjadi dan akan diperbaiki. Pilihan rakyat sebaiknya dihargai untuk lanjut dengan proses penyelenggaraan negara yang lebih baik. Harapan Indonesia yang adil makmur dan modern tidak boleh dipadamkan, namun harus didukung dan diimplementasikan melalui caranya masing-masing, cara-cara rakyat yang berdaulat di negerinya sendiri. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun