Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tulisan Mbeling : Susno Duadji, Supermiris Hukum, dan Gusnoy Duadji

1 Mei 2013   00:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:20 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabarnya, mantan Kepala Bagian Reserse dan Kriminalitas (KABARESKRIM) Polisi Republik Indonesia, Susno Duadji (SD), tiba-tiba masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung dan ketidakmampuan pengadilan mengeksekusinya untuk menjalani masa tahanan di penjara selama 3,5 tahun. Kasusnya bukanlah tatkala ia menjabat, melainkan sebelum ia menjabat, yang mungkin gara-gara ia digadang-gadang menjadi whistleblower berkaitan dengan buncitnya rekening aparat negara beserta kasus Century yang menghebohkan hingga kini.

Kabar ini tentu saja baru kali pertama terjadi dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berusia 68,75 tahun. Negara Indonesia, menurut penjelasan atas Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensinya adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Realitasnya, negara hukum ini selalu saja terjadi ironi-paradoks dalam penerapan undang-undangnya sendiri. Seorang penjahat kelas teri dan hidupnya nomaden selalu mudah ditangkap plus diberi bonus bogem mentah berkali-kali. Ada juga yang tidak melakukan kejahatan tetapi baru sebatas dicurigai, sudah harus ditangkap dan diberi ‘bonus’.

Katanya, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Nyatanya? Seorang pencuri seharga Rp.5.000,- harus mendekam di penjara apek selama sekian bulan, sedangkan koruptor seharga Rp.5.000.000.000,- hanya mendekam sebentar lantas boleh memperindah sekaligus melengkapi fasilitas mewah sel-nya, jalan-jalan, dan seterusnya. Proses penangkapan dan pengadilannya pun berbeda dari segi waktu. Selalu saja begitu.

Sekarang, apakah memang susah menangkap seorang SD? Bukankah wajah SD sudah sangat popular, seringkali tampil di media dalam berita kasus-kasus besar? Mengapa kemudian nama SD harus masuk dalam DPO, seolah SD adalah seorang penjahat berbahaya bagi seluruh rakyat Indonesia? Benarkah SD sudah termasuk seorang penjahat kelas kakap berilmu belut dan kebal?

Sebenarnya tidaklah susah plus repot menangkap SD. Sebenarnya. Seorang Nazarudin yang sembunyi di luar negeri saja akhirnya bisa ‘diringkus’. Apakah SD ‘melarikan diri’ ke luar negeri? Apakah seorang Nazarudin itu dulu lebih popular dibanding seorang SD? Persoalannya, kenapa harus gusar sekaligus heboh dengan memakai sebutan DPO segala?

Sebagai mantan orang penting dalam jajaran penegak hukum di Indonesia, SD pastilah sangat memahami celah-celah hukum itu sendiri. Manalah mungkin SD repot-repot bersembunyi seperti halnya Nazarudin. Mustahillah SD takut pada segala keputusan pengadilan beserta celah-celah kelemahannya. Maka, manalah sudi SD menyerahkan diri.

Lagi-lagi ironitas negeri rechtsstaat ini membuktikan bahwa orang yang memahami hukum, dialah yang berani melanggar atau menghindar dari jerat hukum; orang yang memahami seluk-beluk hukum, dia pasti tenang-tenang saja ketika berhadapan dengan jerat hukum; orang yang tidak memahami hukum, dia akan selalu terjerat, entah salah ataulah benar; orang yang kurang memahami hukum tetapi dibela (tidak gratis, tentunya) oleh orang yang sangat memahami hukum, dia bisa menikmati banyak keringanan dan kemudahan.

Entah kenapa, di negeri rechtsstaat ini, hukum masih saja diperlakukan secara diskriminatif begitu. Di negeri rechtsstaat ini pun bahasa dalam pasal beserta ayat-ayat hukum masih belum mutlak-bulat alias bias. Setiap kata masih ‘bersayap’; setiap kalimat masih ‘bercabang’; setiap ayat masih ‘bersamping’; setiap pasal masih ‘bersimpang’. Meski kampus di seluruh Indonesia berhasil melahirkan puluhan ribu sarjana hukum saban tahun, tetaplah hukum diberlakukan secara ‘tergantung kepentingan’ dan diskriminatif.

Juga ada istilah “cacat hukum” dalam keputusan eksekusi SD. Istilah “cacat hukum” seolah-olah “hukum” sebagai “alat penjerat” yang cacat alias tidak layak dipakai untuk ‘menjerat’. Mosok sih “hukumnya cacat” atau “vonisnya cacat”. Untuk menjerat tokoh sekaliber SD, manalah mungkin dengan “jerat yang cacat”. Kalau “jerat cacat”, jelaslah SD akan lolos melulu. Masalahnya, mengapa memakai ‘jerat cacat’, dan siapa yang merajutnya menjadi ‘jerat cacat’?

Pertanyaan ‘siapa yang merajutnya menjadi jerat cacat’, seketika menuju kepada ‘pembuat jerat’. Kalau dikira ‘si pembuat’ adalah sarjana hukum lulusan minggu kemarin, masih wajar hasilnya ‘jerat cacat’. Kurang berpengalaman. Apalagi ‘jerat’ dipakai untuk menangkap SD. Jelas pelecehan hukum. Kalau ‘si pembuat’ memang berpengalaman luas, kenapa bisa membuat ‘jerat cacat’ apalagi kasus SD terbilang ramai disoroti masyarakat melalui media massa? Kalau ‘jerat’ sengaja dibuat cacat, ini sudah pasti mencacati hukum. Lantas, kenapa ‘jerat cacat’?

Sungguh ironi, menggunakan ‘jerat cacat’ untuk menangkap SD. Sementara kalau “menjerat rakyat”, selalu bisa dengan “jerat cacat” karena “rakyat” memang selalu mudah “dijerat” untuk ditangkap. Lha ini, SD, mantan KABARESKRIM, mosok sih akan ditangkap dengan jerat yang ‘cacat’? Jangan-jangan kabar itu justru ‘kabar cacat’.

Akan tetapi, janganlah sampai, gara-gara hendak menangkap SD, malah salah sasaran (jerat nyasarkah?), semisal menangkap seorang bernama Gus Noy. Lha kok bisa nyasar, lantas nangkap Gus Noy? Bisa saja nama “Gus Noy” diduga-duga bernama asli Gusnoy Duadji alias saudaranya SD. Kalau Gusnoy diduga bernama asli Gusnoy Duadji sehinggalah disangka menyembunyikan SD, sudah pastilah terjadi supermiris hukum di negeri rechtsstaat ini. Sudah pasti pula itu kabar cacat yang tidak patut dicatat. Alamak, mbeling ‘kali!

*******

Balikpapan, 30/04/2013

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun