Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tokoh Satir Plus Kenthir Paling Berpengaruh*)

23 Oktober 2014   02:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Gerbang 2014, seingat saya, dibuka dengan sebuah buku yang cukup berpengaruh dalam pembelajaran siswa-siswi mengenai sejarah satir Indonesia. Buku tersebut, konon, didanai seutuhnya oleh seorang surveyor bernama Oji yang pernah ‘merapat’ di lubang pantat seorang kandidat Paling Pejabat dalam Pilbat 2014. Judul buku itu adalah “8 Tokoh Satir Paling Berpengaruh dalam 1 Abad”.

Terus terang, saya mendukung pengadaan buku tersebut karena secara gamblang menyebutkan tokoh-tokoh satir yang selama ini tidak menampakkan diri sebagai tokoh satir yang berlindung di balik mantera-mantera. Tokoh-tokoh satir tersebut adalah Demun, Sarwan, Bedul, Serungal, Naman, Lebeb, Cangek, dan Buluque.

Namun, sejalan dengan lintasan matahari berulang-ulang selama menjelang 365 hari, terjadilah apa yang dinamakan “huru-hara”. Huru-hara tersebut telah menyangkut nama Iwan Soekri dan Saut Sipelebegu ke ranah hukum formal dengan delik Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Nama Iwan Soekri terkait dengan penyebutan kata “penipu” terhadap para satiris. Dan nama Saut Sipelebegu terkait dengan penyebutan “bajingan”. Kedua hal itu dilaporkan ke pihak berwajib oleh Patina Patronah, yang merasa dirinya sebagai “penipu” dan “bajingan”. Bagi Patina Patronah, sebutan itu merupakan tindakan pencemaran nama baiknya.

Menurut boros saya, tentu saja tuduhan di atas terlalu satir ketika sebutan “penipu” dan “bajingan” secara langsung disandangkan pada diri sendiri oleh Patina Patronah akibat kegedean rumangsa (ke-GR-an). Sebab, pertama, jelas bahwa itu lebih diakibatkan oleh “merasa dirinya” sebagai sebutan yang dilontarkan oleh Iwan dan Saut. Kedua, sebutan tersebut tidak secara langsung menohok kepada nama “Patina Patronah”, misalnya “kamu penipu” atau “kamu bajingan” atau pula “Patina Patronah seorang Penipu lagi Bajingan”.

Kedua “sebab” itu terjadi hanya lantaran “tidak sepemikiran” dan Patina merasa memiliki “dukungan” tertentu. Hal senada bisa dan biasa terjadi pada tuduhan terhadap tindakan tidak menyenangkan atau penghinaan ketika Saut sering mengatai saya dengan kata “ndasmu!” (kepalamu!) di depan umum (publik Facebook).

Saya mengenal Saut dan kata “ndasmu”; semprotan “ndasmu!” memang pas-cocok untuk saya yang bukan siapa-siapa ini. Saya tidak perlu sakit hati dan mengatakan bahwa Saut telah melakukan tindakan tidak menyenangkan di depan umum dengan delik aduan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Dan, memang, apa perlunya saya sakit hati?

Yang justru membuat sakit hati saya, sebagai orang awam, adalah penerbitan dan penyebaran luar biasa terhadap buku mengenai delapan tokoh satir itu. Untuk apa tokoh-tokoh satir dijadikan sebagai salah satu buku acuan bagi siswa-siswi, apalagi dengan menyebutkan nama Oji sebagai seorang tokoh satir paling berpengaruh selama satu abad ini?

Yang tidak kalah sakit hati saya adalah nama-nama, yaitu Demun, Sarwan, Bedul, Serungal, Naman, Lebeb, Cangek, dan Buluque. Bukannya seorang Patina Patronah, yang merasa satir tetapi masih kepayahan menulis dengan tata bahasa dan ejaan yang baik-benar. Sementara delapan tokoh yang paling satir itu begitu saja menjadi tokoh-tokoh utama dalam konspirasi pencitraan kesatiran paling berbahaya versi Oji.

Satu contohnya, Cangek. Cangek ini dulunya terkenal dengan cerpen “Cabai”, dan mendapat beragam penghargaan, baik nasional maupun internasional. Orang sering keliru membedakan antara Cangek dan cabai. Cangek itu nama cerpenis (pasti karena laki-laki!). Cabai itu rempah-rempah atau bumbon.

Nah, hanya gara-gara Oji memiliki banyak duit sekaligus mendanai proyek pencitraan itu, maka Cangek sudi menjual kolornya ke pasar pembaca. Kolor yang sedemikian bau dan marak jamur itu, kok, ya, dipamer-pamerkan di etalase penjualan mantera untuk mendapat predikat “ahli kolor nasional”?

Kenthir-nya lagi, seorang Cangek tidak mengenal seorang penyanyi yang bersuara di kamar mandi. Lho, siapa? Ya, Seno lho! Seno itu jelas sangat berpengaruh, apalagi dengan senjata andalannya bernama “senja”. Dengan “senja”-nya Seno berhasil menyarangkan kata-kata dalam benak banyak pembaca, termasuk saya. Kata-kata yang getir. Kata-kata yang satir. Kata-kata yang berpotensi membikin ketar-ketir bahkan bisa berakibat kenthir.

Tukul juga lho! Dengan puisi dan gigihnya, terjungkallah rezim ter-kenthir sepanjang zaman. Atau Mangun, yang membendung serangan menuju Kedungombo, dan mengayomi orang-orang pinggir kali. Dua sastrawan ini pun tidak dikenal oleh Cangek, atau sama sekali tidak dilirik lantaran matanya kelilipen duitnya Demit Jantung Anjing.

Oleh karenanya, bagi saya, tidak ada orang paling kenthir selama satu abad ini selain Oji. Delapan tokoh satir lainnya adalah, jelas, Demun, Sarwan, Bedul, Serungal, Naman, Lebeb, Cangek, dan Buluque. Maka saya mendukung buku itu supaya jelas siapa saja tokoh paling satir yang berpengaruh selama satu abad ini.

Sedangkan Patina Patronah hanyalah seseorang yang merasa dirinya kenthir. Dan sebutan “penipu” dan “bajingan” merupakan peluru yang berdampak bias sehingga “siapa penipu” dan “siapa bajingan” sebaiknya bukanlah akibat dari ke-GR-an milik sendiri melainkan ke-GR-an kolektif. Itu pun kalau sudi mendapat gelar tambahan “Tokoh Paling Satir plus Kenthir” di pintu belakang 2014.

*******

Panggung Renung, 2014

*) Menyatir buku “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia” (2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun