Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sumur

4 Desember 2014   07:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumur, semengerti saya, adalah salah satu sumber air bagi masyarakat, yang termasuk, kampung nan usang. Kendati sebagai “salah satu”, bukanlah berarti salah dan satu-satunya. Salah duanya, kalau tidak salah, adalah sendang atau sumber mata air yang berada dekat permukaan tanah. Salah tiganya, masih semengerti saya, adalah danau atau telaga. Salah empatnya adalah sungai. Salah lima berarti merah!

Pengalaman saya berkaitan dengan sumur berawal dari kampung halaman saya, Sri Pemandang Pucuk, Sungailiat, Bangka. Di kampung kami yang cihuy itu, kalau data ini valid, 99,9% penduduknya memiliki sumur (perigi) dengan diameter rata-rata 1,5 m. Kejadian yang sering saya dan tetangga alami adalah seekor ayam atau bebek masuk sumur.

Mengenai kedalamannya, sangatlah variatif; tergantung posisi pada ketinggian permukaan tanah. Sumur di rumah orangtua saya kedalamannya mencapai lebih 15 m dengan permukaan air yang bisa sampai 1m mendekati dasar sumur pada musim kemarau panjang, atau 2m mendekati bibir sumur pada musim hujan. Sementara sumur tetangga sebelah, yang berposisi lebih rendah, kedalamannya (sampai dasar) tidak sampai 10 m.

Sewaktu berstatus pelajar SD, saya biasa menimba air untuk mengisi bak mandi berukuran 1 x 1,5 m2. Meskipun rumah dipasang listrik ketika saya naik kelas V, orangtua saya belum mampu membeli mesin pemompa air. Kegiatan menimba air dan mengisi bak mandi merupakan kewajiban bagi saya sampai SMP, selain kewajiban kakak dan sepupu saya.

Ketika SMA saya indekos di daerah Kompleks POLRI Balapan, Yogyakarta. Di situ pun terdapat sumur. Letaknya nyaris di depan kamar saya. Meski terkadang masih menimba air, di tempat kos itu sudah terpasang mesin pemompa air. Maka di sanalah bermula ‘kenyamanan’ bagi saya.

Selain merasakan jauh dari rumah dan orangtua, tak jarang saya mudik ke rumah orangtua ibu (mbah kakung) saya di Dusun Clepor, Kelurahan Ngadirejo, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Karisidenan Surakarta, yang jalanannya masih berupa batu-batu bersusun. Di bagian belakang rumah mbah kakung terdapat sumur berdiameter 1,5 m. Entah berapa kedalamannya, tetapi permukaan air bisa rata dengan permukaan tanah pada musim hujan.

Ketika saya kuliah dan berpindah indekos, yaitu di Babarsari, sumur berada dalam lingkungan rumah pemilik kos. Saya tidak pernah mengetahui kondisi sumur itu. Sementara air di kamar mandi dialirkan dari sumur itu melalui pipa-pipa dan mesin pemompa air. Pada masa inilah saya mulai kehilangan sumur sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, walaupun saya masih sering mudik ke rumah mbah kakung.

Sumur seakan menjauh dari kehidupan dan keseharian saya adalah ketika saya tinggal di Jakarta dan Bogor, bahkan lima tahun tinggal di Kota Balikpapan. Rumah tanpa sumur. Sumur sudah langka. Air dari PDAM. Air melewati pipa. Air mengucur dari kran. Ada meteran air. Air tidak mengalir. Dan seterusnya. Sehingga ketika sumur terasa jauh dari pandangan keseharian saya, betapa tergantungnya orang-orang, termasuk saya, pada PDAM.

Kemudian saya pernah berada di Kupang, NTT, selama lebih tempat bulan. Beberapa rumah yang saya kunjungi, terdapat sebuah bak penampungan air di bagian depan rumah. Luas dan kedalamannya pun bervariasi. Lagi-lagi PDAM menjadi sebuah ketergantungan.

Ya, betapa tidak tergantung, wong ya menggali sumur di sana bukanlah pekerjaan mudah. Walaupun terlihat kondisi permukaan tanah ‘aman’, bukan berarti di balik itu masih berupa tanah. Yang paling mungkin adalah batu karang. Jangan harap penggali sumur di sana bisa seenaknya bermodalkan cangkul (pacul).

Yang cukup melegakan ketika saya berada di Kupang adalah di Kabupaten Kupang Barat, yaitu daerah menuju kebun dan peternakan milik orangtuanya kawan saya. Saya masih melihat beberapa sumur dan masih berfungsi penting di sana.

Begitu pula ketika saya ‘berlibur’ ke pulau Sabu, tepatnya Sabu Barat. Di belakang rumah kontrakan saudara kawan saya di sana masih terdapat sebuah sumur berdiameter 1m. Airnya jernih dan permukaannya hanya dua meter dari bibir sumur.

Juga ketika saya mengunjungi sebuah pembangunan rumah kontrakan berjenis kopel, yang terletak dua rumah dari rumah kontrakan saudara kawan saya. Di depan ‘proyek’ itu terdapat sumur baru, yang memiliki permukaan air hanya tiga meter dari bibir sumur–terhitung dari jumlah gorong-gorong yang lebarnya 50 cm per gorong-gorong.

Melihat mudahnya air didapat, meski melalui proses pelinggisan batu karang, jelas berbeda dengan di Bangka, tepatnya kampung halaman saya, dan di Jawa, tepatnya kampung halaman ibu saya. Hal tersebut (di Sabu) sangat dimungkinkan oleh ketinggian permukaan tanah di seluruh wilayah pulau Sabu, yang terlihat landai dari arah laut.

Dengan melihat adanya sumur, apalagi dengan jarak permukaan airnya yang tidak dalam itu, sangatlah menghibur keseharian saya selama tujuh hari. Selanjutnya saya harus kembali ke Kupang, dan Balikpapan. Selanjutnya saya harus menghadapi kenyataan bahwa sumur sudah menjauh dan PDAM menjadi sebuah ketergantungan keseharian saya.

Namun, kenyataan “tanpa sumur” bukanlah kebenaran abadi dan mutlak (absolut)! Belum lama ini saya membangun rumah saya, tepatnya untuk ‘kantor’ alias tempat kerja saya, di Balikpapan Utara. Saya masih berangan-angan untuk memiliki sebuah sumur di rumah saya. Saya tidak mau menggantungkan hidup hingga memberhalakan PDAM.

Pada waktu pelaksanaan pembangunan rumah itu,saya menghidupkan angan-angan saya, “Seandainya saya memiliki sebuah sumur yang bergaya kampungan dan tempo doeloe, oh, alangkah...” Sebab, bagi saya, rumah dan sumur adalah sebuah kesempurnaan tempat tinggal saya. Sumur bukan hanya sebagai salah satu sumber air, tetapi juga salah satu sumber kenangan untuk menyemangati hidup saya yang tidak akan pernah kembali ke kampung halaman.

Ndilalah-nya, ketika saya menghidupkan angan-angan dan membangkitkan kenangan, Samuel Maak–seorang tukang bangunan berasal dari Kupang Barat dan berleluhur dari pulau Rote–menyampaikan ‘aspirasi’-nya, “Bu, beta mo bikin sumur. Bole ko?” Lalu saya menanyakan, apakah dia bisa menggali dan membuat sumur, dia menjawab, “Beta biasa bikin sumur. Su banyak beta bikin. Bu sonde perlu kuatir. Percaya sa. Terserah Bu mo bayar berapa.”

Mendadak senanglah hati beta, eh, saya. Kenangan dan angan-angan bakal menjadi kenyataan. Lantas saya segera membelikan gorong-gorong sebanyak lima buah, yang berukuran 80 cm x 50 cm. Dong senang ju. Maka, setiap sampai di lokasi calon rumah saya, kira-kira pukul 07.30 WITA, dia mulai menggali. Pukul 08.00 WITA dia pun naik, dan menukangi pembangunan rumah saya. Selepas jam kerja, sekitar pukul 17.00 sampai 17.30 WITA dia menggali.

Terus terang, Baru kali ini saya melihat cara penggalian sumur yang berbeda dengan cara orang-orang di kampung halaman saya. Pertama, saya bebas menentukan letak sumur, tanpa menggunakan ramalan, pendulum, atau membalikkan piring. Kedua, dia membuat lingkaran lebih besar sekian centimeter dari gorong-gorong dan menggali. Ketiga, pada kedalaman ½ m, dia (sendirian!) memindahkan gorong-gorong ke lubang. Keempat, dia menggali terus sampai gorong-gorong meluncur perlahan ke bawah. Dan seterusnya.

Pada kedalaman 1,5m dari permukaan tanah, air sudah muncul dari beberapa titik. Dia terus menggali karena, katanya, mata air belum terlalu besar. Saya pikir, apakah mata air harus melotot agar airnya benar-benar bisa diharapkan? Tapi setelah ½ m atau empat gorong-gorong sampai di dasar sumur, dia pun berhenti seraya berkata, “Terimalah dan menimbalah. Kalau Bu melihat sumur itu, Bu akan mengingat beta.”

Kini saya benar-benar merasa kehidupan bertempat tinggal sudah sempurna dengan adanya sumur berkedalaman 2m sebagai salah satu sumber air, sumber kenangan, sumber karakter kampungan, dan sumber semangat saya. Dengan adanya sumur itu, saya tidak perlu ikut-ikutan memberhalakan ataupun malah mengutuki PDAM yang belum tentu mengucur lancar pada musim kemarau panjang seperti beberapa bulan silam.

*******

Panggung Renung, 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun