Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Seorang Caleg Kurang Berwawasan Politik

1 Februari 2014   02:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Senin malam Selasa, 27 Januari 2014, usai dari acara musyawarah dan pelantikan pengurus sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Balikpapan, saya dan beberapa kawan (seorang di antaranya adalah mahasiswa) berkumpul di sebuah angkringan. Kami membahas beberapa kekurangan yang patut disayangkan dalam acara itu. Ah, saya merasa masih mahasiswa saja!

Obrolan kami tidak sampai tuntas karena tidak beberapa lama kami didatangi oleh seorang calon legislatif (caleg) dari sebuah partai. Seperti biasa dia tidak sendirian. Ada seorang tim sukses-nya (timses). Tak pelak, obrolan pun beralih, dari yang semula berkaitan dengan kegiatan kemahasiswaan dan kesenian ke hal-hal politik.

Inti obrolan malam itu, menurut pandangan saya pribadi, adalah kekurangwawasan si caleg dalam politik. Dia merupakan prototype caleg-caleg yang pernah saya kenal, baik saudara saya sendiri maupun kawan-kawan yang nyaleg. Mereka tidak begitu memahami bahwa menjadi caleg, yang notabene berpolitik praktis secara resmi, harus juga memiliki wawasan tentang politik itu sendiri.

Ya, baik saudara saya sendiri maupun kawan-kawan saya yang nyaleg, tidak pernah saya menyaksikan kemampuan memadai dari omongan mereka mengenai seluk-beluk politik, dan lain-lain. Kemampuan yang tidak memadai semacam ini masih juga mereka banggakan untuk terjun bebas dalam dunia politik yang sarat trik dan intrik ini.

Contoh jelasnya, dia (caleg tadi) menyebut dirinya seorang pengagum Soekarno bahkan seorang Soekarnois. Ketika saya menanyakan perihal koleksi bacaannya mengenai Soekarno, termasuk buku “Di Bawah Bendera Revolusi” yang dahsyat itu, sama sekali dia tidak memiliki bukunya. Saya sangat menyayangkan, orang ini mengaku dirinya sebagai Soekarnois tetapi sama sekali tidak memiliki buku yang ditulis oleh Soekarno! Soekarnois macam apa ini, hah?!

Belum lagi ketika saya menanyakan tentang tokoh-tokoh politik dunia, sejarah politik, aliran-aliran politik, dan apa saja yang berkaitan dengan seluk-beluk politik. Dia menggeleng-geleng sembari berkata, “Saya belum membaca buku-buku tentang politik dunia dan tokoh-tokohnya.” Lhadalah! Caleg macam apa ini, hah?!

Mungkin ada caleg yang berpendapat bahwa berpolitik praktis bukanlah berpraktik dari buku-buku politik (textbook) melainkan suatu tindakan nyata bagi bangsa-negara. Baiklah. Persoalannya yang paling nyata, saya bahkan kami (lebih dari tiga orang malam itu) sama sekali tidak pernah mengenal siapa dia sebelumnya. Tindakan nyata semacam apa yang sudah dia lakukan, hah?!

Sempat pula dia menyinggung nama Jokowi dan segala kiprah Gubernur DKI itu. Bagi saya, Jokowi sudah merintisnya bukan hanya dalam kurun waktu satu-dua tahun! Bisa jadi belasan tahun Jokowi sudah melakukan itu sehingga tidak perlu repot dengan “pencitraan” dalam sebuah kampanye! Lantas dia, kapan memulai? Melalui obrolan dengan kami malam ini, yang akan diteruskan hingga usai kampanye 2014, lantas itu bagian dari ‘sosialisasi’? Busyet banget!

Saya tidak yakin, dalam diri mereka (caleg-caleg semacam itu) memang beritikad baik bagi bangsa-negara Indonesia tercinta ini! Mengapa begitu? Secara administrasi dan realitas politik praktis secara resmi (melalui rekomendasi pemerintah terhadap partai-partai), saya hanyalah ‘orang luar’ alias GOLPUT. Meski begitu, bukan berarti saya tidak perlu mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan negara dan ilmu politik.

Hal kekurangwawasan para caleg semacam ini tentunya sangat berbahaya dalam pembangunan kehidupan masyarakat Indonesia menuju sejahtera jasmani-rohani. Ibarat sebuah proyek bangunan, para pekerjanya sama sekali tidak memahami pekerjaan membangun, mulai dari memahami material, mengaduk semen hingga tahap finishing bangunan. Tidak heran, bangunan kebangsaan Indonesia pun ternyata sangat keropos bahkan tidak layak secara konstruksi karena dikerjakan oleh mereka (caleg-caleg semacam itu).

Pada obrolan malam itu kami akhiri dengan satu pesan saya, “Perluas wawasan Sampeyan mengenai politik. Rajin-rajinlah membaca buku mengenai politik, termasuk mengenai negara, karena Sampeyan benar-benar secara resmi terjun dalam dunia politik dan berkaitan dengan hal-hal negara. Saya bukan seorang politikus tetapi saya harus belajar dengan membaca buku-buku politik dan negara. Sampeyan seharusnya lebih berwawasan soal politik dan negara daripada saya, Pak!”

*******

Balikpapan, Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun