Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Nomor HP Mantan Pacar

20 Maret 2015   21:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:21 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak pernah berusaha mencari nomor kartu telepon seluler (ponsel, atau biasa dikenal sebagai HP atau Handphone padahal pesawat telepon rumahan ataupun kantoran juga digenggam) milik mantan pacar saya, terlebih jika status sang mantan adalah istri orang lain. Atau, kalau saya seperti kebanyakan orang lain yang menggunakan Blackberry atau sejenisnya, saya pun tidak akan sibuk mencari nomor pin mantan pacar.

Saya memang seorang pengkhayal sampai-sampai mantan kawan kuliah saya ‘memvonis’ (menghakimi) saya dengan sebutan “pemalas”. Namun bukan berarti saya malas mencari pacar atau malah nekat berkhayal menjalin hubungan ‘perasaan’ kembali dengan mantan pacar saya. Kalau mantan pacar saya berusaha mencari nomor saya yang bisa dihubunginya dengan cara bertanya ke orang lain yang mengetahui nomor ponsel saya, bukanlah hal khayal atau saya ‘ada-adakan’. Terserahlah sang mantan maunya begitu.

Saya menyebut ‘mantan pacar’ berarti memang pernah terjadi hubungan ‘perasaan’ bilateral. Kalau ‘mantan taksiran’, hanya terjadi pada satu pihak, yang bisa saja disebut “bertepuk sebelah tangan”. Seperti sebuah syair lagu, “Bertepuk sebelah tangan, sudah biasa”. Yang paling sering saya alami, ya, itulah; bertepuk sebelah tangan. Persoalan ‘perasaan’ hanya sepihak alias pada diri saya sendiri. Jelas berbeda dengan sebutan “mantan pacar”, dimana pernah terjalin hubungan ‘perasaan’ bilateral.

Bagi saya, ketika suatu hubungan ‘perasaan’ bilateral sudah putus tidaklah perlu disambung-sambungkan lagi dengan menggunakan istilah lain, yang ‘seolah-olah’. Saya tidak peduli soal ‘perasaan’ masa lalu sebab saya hidup di masa kini dan sedang menuju hidup masa depan. Saya tidak mau lagi melibatkan diri dengan masa lalu, apalagi menghidupkan masa lalu dengan mantan pacar. Sudah selesai, seperti secuplik lagu dangdut, “Masa lalu, biarlah masa lalu”.

Masa lalu dengan sang mantan, meski banyak senangnya (menyenangkan), cenderung menyusahkan (menyakitkan, mengecewakan) saya. Betapa pun banyaknya hal menyenangkan, toh kesusahan atau kekecewaan lebih terasa. Paling terasa ketika putus hubungan ‘perasaan’. Orang yang sudah ‘menyusahkan’ begitu, alangkah tidak tepatnya apabila masih saya khayalkan untuk ‘bersama’ lagi di masa kini atau masa depan nanti.

Hidup di masa kini. Realita, fakta, dan aktual. Kesenangan dan kesusahan masa kini sudah lebih dari cukup bagi saya. Tidaklah perlu saya campur-baurkan dengan masa lalu. Kalaupun saya campur-baurkan dengan khayalan, tentu saja, khayalan masa depan tapi bukan dengan sang mantan.

Berkhayal dengan sang mantan adalah usaha menjaring angin. Suatu kesia-siaan belaka. Nekat ‘menjaring angin’, bisa terjadi ‘masuk angin’ bahkan ‘angin ribut’. Kalau ‘masuk angin’, terasa sesak dalam ‘perasaan’ sendiri. Kalau ‘angin ribut’, bisa gaduh dengan orang-orang di luar diri saya. Makanya, saya tidak mau ‘masuk angin’ apalagi kena ‘angin ribut’.

Tapi, bagaimana kalau dipertemukan lagi dengan sang mantan pacar? Frase “dipertemukan lagi” adalah sebuah tindakan yang tidak disengaja atau di luar kuasa khayalan diri saya. Tindakan yang tidak disengajakan itu bisa terjadi karena, pertama, ada pihak lain yang sengaja melakukannya, entah apa pun maksud-tujuannya. Kedua, pihak lain pun tidak sengaja melakukannya karena ketidaktahuan mengenai hubungan ‘perasan’ bilateral antara saya dan sang mantan pacar. Ketiga, suatu kebetulan belaka, baik melalui pertemuan langsung, semisal di tempat, maupun dunia maya.

Oleh sebab itu saya selalu memilih hidup di masa kini, dimana kesenangan dan kesusahan tanpa pernah melibatkan masa lalu yang sudah berakhir dengan kesusahan ‘perasaan’, khususnya di pihak saya. Saya tidak mau juga membanding-bandingkan karena setiap masa memiliki kesenangan dan kesusahannya masing-masing. Namun, sudah jelas bahwa ‘putus’ sangatlah ‘menyakitkan’, kenapa nekat saya mengkhayal-khayalkan ‘bersama’ masa lalu lagi melalui pencarian nomor ponsel atau pin BB sang mantan pacar, bukan?

*******

Kebun Karya, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun