Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menolak Tawaran Bekerja di Lembaga Survei

16 Juli 2014   08:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:11 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterlibatan aktif bahkan menjurus hiperaktif lembaga survei dalam Pilpres 2014, bagaimanapun, mengusik ketenangan saya menikmati kesibukan sehari-hari. Pengusikan itu adalah pada ingatan saya mengenai kegiatan saya ketika masih kuliah, lalu seorang kawan (sebut saja seenaknya : Oji), dan akhirnya kawan lainnya (sebut saja sesukanya : Demun) yang pernah menawarkan saya untuk menjadi seorang penyurvei (surveyor) di sebuah lembaga survei.

Saya mengenal kegiatan survei-menyurvei ketika masih aktif di majalah mahasiswa Teknik (MMT) SIGMA – sebuah unit kegiatan ekstrakurikuler tingkat faklutas di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Kebetulan posisi saya hanya seorang tukang gambar (ilustrator) untuk membuat hasil survei dapat terbaca dengan santai dan menghibur karena mahasiswa Teknik sudah memikul ‘baja-beton’ perkuliahan yang tidak ringan.

Selain aktif di SIGMA, bersama tiga rekan MMT SIGMA dan di luar itu saya juga ikut mendirikan Unit Pers Mahasiswa PASTI UAJY yang berisi mahasiswa dari semua jurusan (program studi) yang ada di kampus UAJY. Posisi saya adalah, apa lagi kalau bukan, tukang gambar, khususnya menggambar kartun opini. Ketika itu saya sama sekali tidak mampu menulis opini (Menurut G.M. Sudarta, “Kartun opini sama nilainya dengan artikel opini.”) . Tetapi hanya dalam satu edisi terbitannya, lantas saya mudik ke kandang (MMT SIGMA).

Kegiatan survei, dari investigasi lapangan sampai melakukan jajak pendapat, merupakan hal yang biasa dilakukan oleh kalangan aktivis pers mahasiswa. Semua hasil survei harus dikelola dan menjadi sebuah karya tulis. Kegiatan tersebut termasuk bagian dalam pembelajaran yang tidak pernah diajarkan dalam pendidikan saya (Teknik Arsitektur). Begitu hal awal yang ada dalam ingatan saya.

Hal berikutnya adalah mengenai Oji. Oji adalah seorang kawan di kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta, khususnya ketika di tabloid PASTI. Oji mahasiswa Teknik Industri. Sewaktu lulus, Oji mengabarkan bahwa ia bekerja di sebuah lembaga survei. Kata orang Semarang ini, “Bekerja di lembaga survei, semisal kantor pusatnya di Jakarta, kita tidak perlu bolak-balik ke Jakarta. Kemajuan teknologi sudah memudahkan kita dalam penyampaian hasil survei.”

Kawan lainnya, yang juga dari PASTI, adalah Demun. Demun seorang mahasiswa jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Lulus kuliah S-1, Demun sempat bekerja di beberapa media massa. Ketika ada tawaran beasiswa pendidikan S-2 di Inggris, Demun pun mengambil kesempatan tersebut, bahkan hingga S-3 dan meraih gelar Doktor di sana. Demun juga memiliki sebuah lembaga survei di Kupang, NTT. Dia sempat mengajak saya untuk bergabung, atau paling tidak, mau ‘dikontrak’ untuk suatu proyek survei. Namun saya menolak tawaran tersebut karena saya ingin tetap menjadi seorang arsitek.

Begitulah ingatan saya mengenai survei-menyurvei, yang kemudian terusik oleh persoalan simpang-siur mengenai hasil perhitungan cepat (quick count) dari 12 lembaga survei dalam Pilpres 2014. Saya tidak perlu repot-repot memikirkan kredibilitas sebuah lembaga survei karena pekerjaan utama saya bukanlah memikirkan hal-hal semacam itu. Walaupun hasil perhitungan cepat mereka begini-begitu dan kepentingan bangsa-negara dipertaruhkan, saya tetap memilih berpikir realistis pada pekerjaan saya. Yang saya pahami, 2014 ini sudah ada presiden baru, urutan ke-7, dan menggantikan SBY yang sudah dua periode.

*******

Sabana Karang, 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun