Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengurus Izin Mendirikan Bangunan di Balikpapan, Kaltim

2 Oktober 2014   18:01 Diperbarui: 27 Juli 2016   14:29 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini saya mengurus perihal surat izin mendirikan bangunan (IMB) rumah tinggal berukuran 37,5 m2 ke Dinas Tata Kota dan Perumahan. Baru kali ini (sungguh memalukan dan memilukan!) saya mengurus soal IMB karena, pertama, selama ini tidak ada pemesan gambar bangunan yang minta (sekalian diuruskan IMB-nya); kedua, rumah tinggal yang saya rancang merupakan milik keluarga saya.


Sebelumnya saya sering mendengar rumor sebagian orang (golongan menengah ke bawah) di sekitar saya bahwa biaya pengurusan IMB itu mahal, yang minimal harganya Rp. 1,5 juta. Tidak jarang, gambar yang diajukan mendapat coretan dan selalu ditanggapi dengan vonis “gambar kurang lengkap” alias dipersulit. Sudah begitu, ada oknum yang menawarkan diri, “Bagaimana kalau kami saja yang menggambarnya?”


Antara rumor orang-orang, ‘permintaan’ keluarga saya, dan ‘tantangan’ wajar sebagai seorang arsitek, mau-tidak mau membuat saya harus terlibat langsung dalam pengajuan dan pengurusan IMB. Rumor harus dibuktikan. Permintaan harus dipenuhi. Arsitek harus bisa mengurusi hal-hal administratif berdasarkan peraturan daerah setempat. Harus!


*


9 Juni saya mendatangi kantor Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T), khususnya ke bagian pengurusan IMB, untuk mengetahui apa saja yang harus saya ajukan. Di situ saya diberikan formulir permohonan untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan, berikut lampiran persyaratan permohonan IMB dan contoh lembaran bergambar bangunan yang diajukan.


Sebagai arsitek, tentu saja terlebih dulu saya mencermati persyaratan permohonan IMB dan contoh lembaran bergambar bangunan. Gambar-gambar yang wajib diajukan adalah denah bangunan, tampak bangunan (minimal dua tampak), potongan bangunan (minimal dua potongan), rencana fondasi dan detail fondasi (hanya satu contoh gambarnya), rencana atap, rencana sanitasi, dan sket lokasi (letak lokasi dalam sebuah wilayah).


Untuk bangunan rumah tinggal berukuran 37,5 m2 yang saya gambarkan, persyaratan yang wajib itu tentu mudah. Kalau tidak salah, kembali membuka ingatan tentang mata kuliah semester I Program Studi Arsitektur. Segera saya persiapkan, terutama dalam format kertas A2 agar semua gambar prasyarat bisa tertampung. Setelah itu saya minta cetak di sebuah tempat fotokopi yang juga bisa mencetak gambar kerja bangunan.


Kemudian syarat kelengkapan administratifnya yang tertulis dalam formulir permohonan untuk mendapatkan IMB. Syarat itu adalah salinan Surat Bukti Penguasaan Tanah, salinan lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan salinan KTP.


*


16 Juni saya kembali ke kantor BPMP2T. Di situ petugas memeriksa semua persyaratan, dan beres. Petugas itu memberikan Surat Tanda Terima Permohonan IMB, yang nantinya (sekitar satu bulan) bisa disampaikan langsung ke Dinas Tata Kota dan Perumahan. Tidak perlu ke BPMP2T lagi.


Namun, oleh sebab saya harus kembali ke luar daerah, pengurusan tersebut saya tunda sampai saya pulang. Yang penting, saya sudah menerima Surat Tanda Terima Permohonan IMB.


Di luar daerah saya sempatkan diri untuk membuat detail-detail gambar. Pola plafon, lantai, kusen, ukuran ini-itu, kamar mandi/WC, dan lain-lain. Untuk kusen, tentunya berkaitan dengan waktu pemesanan. Ketika pekerjaan pemasangan bata dilakukan, tentunya kusen pintu-jendela terikut dalam pekerjaan itu.


*


9 September saya mendatangi kantor Dinas Tata Kota dan Perumahan. Seorang petugas, sebut saja Sarwan, menerima kedatangan saya. “Oh ya, belum selesai,” katanya. “Coba Mas tanyakan pada Pak Demun di ruang sebelah. Soalnya harus ada persetujuan mengenai lokasi. Terus, nanti, kalau sudah menerima berkas IMB, harus ditanda tangani oleh pemiliknya.”


Saya pun beranjak ke ruang sebelah, menemui Demun, yang bertugas memeriksa (survei) lokasi untuk IMB. Demun memberi tahu bahwa lokasi calon bangunan dalam rancangan saya sulit ditemukan. Artinya, belum bisa ditindaklanjuti. Maka saya memberi tengeran (tanda-tanda tertentu) di sekitar lokasi dengan membuat coretan pada gambar sket lokasi dalam lembar gambar pengajuan IMB.


Setelah itu saya kembali ke ruangan Sarwan, untuk menanyakan perihal biaya pengurusan IMB pada Sarwan supaya saya bisa menyiapkan uang. Kebetulan Sarwan sedang tidak berada di ruangannya. Di situ saya melihat seorang petugas lainnya, sebut saja Oji. Bertanyalah saya pada Oji sembari menyebut ukuran luas bangunan. “Lima ratus ribu rupiah, Mas,” jawab Oji.


Lalu saya berpamitan setelah mengucapkan terima kasih pada Oji. Sambil beranjak ke luar ruangan saya manggut-manggut sembari berpikir, “Lho, tidak sampai berjuta-juta?” Hanya beberapa langkah kemudian, saya berpapasan dengan Sarwan. Untuk memastikan biaya pengurusan IMB, saya pun menanyakan hal itu pada Sarwan.


Saya diajak Sarwan ke ruangannya lagi. Dia menanyakan berapa luas bangunan. Untuk memastikan, dia segera meminta lembar gambar bangunan yang saya bawa. Kata Sarwan, “Biayanya seratus delapan puluh ribu, Mas.”


Saya teringat angka yang disebut Oji (Rp. 500 ribu). Dari 1.500.000 turun ke 500.000 sampai menjadi 180.000. Memang, bangunan tipe sederhana, mendekati tipe 36. Tapi dari manakah perhitungan tersebut diperoleh, atau bagaimana rumusnya?


Tidak lupa saya menanyakan asal angka 180.000 itu. Jawab Sarwan, “Per meternya, untuk bangunan Mas itu, lima belas ribu rupiah.”


Baiklah, saya pun ‘resmi’ berpamitan. Dalam benak saya terpikirkan, biaya IMB untuk bangunan sederhana berukuran 37,5 m2 adalah Rp. 180 ribu. Anggaran bisa segera saya siapkan, dari yang semula tersedia Rp. 1,5 juta (‘percaya’ rumor ataukah antisipasi awal?).


Di rumah saya mencoba berhitung. Kalau biaya IMB itu Rp. 15.000,- per m2, maka untuk bangunan berukuran 37,5 m2 adalah Rp.15.000,- x 37,5 = Rp. 562.500,-. Bagaimana bisa dihitung totalnya Rp. 180.000,- saja? Atau, kalau saya balik, Rp.180.000,- : 37,5 = Rp. 4.800,-. Biaya per m2-nya hanya Rp. 4.800,- saja? Lho, dari mana pula angka Rp. 15.000,- per m2? Ah, terserahlah.


*


29 September saya datang lagi. Kali ini untuk tahap pengambilan berkas IMB. Begitu sampai di situ, saya tidak bertemu Sarwan, Demun, dan Oji. Yang ada di situ adalah Miun. Miun segera mencari berkas di komputer dan di antara tumpukan map. “Berkas sudah masuk ke Su’ai. Tiga hari lagi Mas ambil langsung ke beliau. Ruangannya di sebelah sana,” ujar Miun sambil menunjuk ruangan itu.


Tanpa saya menanyakan biayanya, Miun berkata, “Biaya IMB-nya seratus lima puluh delapan... Anggap saja seratus enam puluh ribu, Mas.” Tanpa bertanya lagi, saya pun pulang. Dalam perjalanan pulang saya tambah heran, mengapa nilainya semakin turun begitu. Dari 1.500.000 turun ke 500.000, berlanjut 180.000, dan menyangkut di 160.000 alias 10,67 % dari angka rumor orang-orang.


*


1 Oktober saya kembali ke situ, langsung ke ruangan Sarwan. Sarwan dan Oji tidak berada di tempat. Adanya Miun. Tetapi Miun lupa, mungkin karena wajah saya tergolong susah diingat oleh banyak orang. “Saya mau mengambil berkas untuk IMB, Pak,” ujar saya sembari menunjukkan Surat Tanda Terima Permohonan IMB.


Miun mengambil Surat Tanda Terima Permohonan IMB dan secepatnya mencocokkan dengan data di komputer. “Sudah masuk. Sekarang Mas langsung ke Su’ai saja, yang di ujung sana,” kata Miun.


Tanpa perlu bertanya ini-itu, berangkatlah saya ke ruangan Su’ai. Dalam pikiran saya muncul angka-angka. Rp.160.000,- bisa berubah. Bertambah ataukah berkurang. Bertambahnya berapa kira-kira. Berkurangnya, apakah mungkin. Atau tidak berubah, seperti yang sempat disebutkan oleh Miun.


Sesampai di ruangan itu saya bisa bertemu Su’ai. Segera saya tunjukkan Surat Tanda Terima Permohonan IMB. Beliau pun langsung mencarinya. Sebuah berkas dengan kertas tebal berwarna kuning. Pada bidang depannya terpampang tulisan “Dinas Tata Kota dan Perumahan Memberi Izin Mendirikan Bangunan....”


Su’ai menerangkan hal-hal yang harus ditandatangani, termasuk dengan tempelan materai Rp. 6.000,- sebagai persetujuan atas ketentuan yang telah ditetapkan. Setelah paham, saya segera pamit. Saya penasaran pada angkanya.


*


Di rumah saya bisa melihat dengan jelas. Gambar-gambar yang terlampir telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan tersebut, dengan ketentun bahwa surat izin dapat dipergunakan jika biaya RETRIBUSI IMB sejumlah Rp. 158,907.00 (Seratus Lima Puluh Delapan Ribu Sembilan Ratus Tujuh Rupiah) telah dilunasi dan semua pernyataan yang tercantum di sebelah ini harus ditaati.


Lagi-lagi saya berhitung. Dengan biaya Rp. 158.907,- itu berarti IMB adalah Rp. 4.237,52,- per m2. Entah dari mana Sarwan menemukan Rp. 180.000,- dengan Rp. 15.000,- per m2. Mungkin justru itu sesuai dengan angka yang disebutkan Oji, Rp. 500.000,-?


Perhitungan yang paling mengherankan adalah rumor, yakni biaya IMB minimal Rp. 1,5 juta atau sekitar sepuluh kali lipat dari biaya sesungguhnya. Tidak jelas, dari mana muasal rumor seaslinya.Saya tidak perlu repot menelusuri jejak hingga ke hulu alias sumber rumor. Dan, saya siap menerima pesanan berupa perancangan bangunan rumah tinggal sekaligus mengurus IMB-nya.


*******

Panggung Renung, 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun