Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa Rakyat Repot Membela KPK?

24 Januari 2015   09:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara, dan berwenang secara khusus menangani kasus korupsi. Begitu pemahaman sederhana saya – seorang tolol yang mencoba berpikir secara naif. Lantas, bagaimana dengan lembaga lainnya, yang sebelum-sebelumnya memang berkaitan dengan hukum serta penegakannya?

Dan, masih menurut pemahaman naif saya, korupsi merupakan tradisi buruk yang begitu gencar diajarkan, diwariskan, dan dilestarikan dalam sistem birokrasi Indonesia. Hal yang paling sering ditemukan adalah membayar lebih daripada seharusnya yang tertera dalam angka tertentu dengan jangka waktu tertentu. Misalnya membayar sesuai dengan kewajiban tetapi urusannya bisa memakan waktu lama dengan alasan “banyak pekerjaan”, “lembur tidak dibayar”, dan sekitarnya, padahal kesehariannya (seharusnya jam kerja 7 atau 8 per hari) lebih banyak (lebih dari 4 jam) diboroskan dengan “bukan pekerjaan”.

Berpuluh tahun korupsi semacam itu sering dijumpai rakyat. Ketidakadilan berada di depan mata, yang menjadi budaya para pelaku birokrasi yang mata duitan. Duit menjadi ‘atasan’ bahkan ‘tuhan’ dalam kepala para birokrat. Istilah “uang siluman”, “biaya setan”, atau “jatah iblis” merupakan hal yang jamak dan semarak.

Sudah begitu, masih saja kalangan birokrasi tidak benar-benar menyadari hakikat pengabdian dan pelayanan itu, meski mereka berpendidikan lebih dari Sekolah Menengah Umum. Serta, sehebat apa pun ceramah tokoh agama dan motivator, mentalitas korup justru semakin melekat hingga dibawa ke liang kubur. Sama sekali tidak ada kesadaran untuk berbenah, dan kembali kepada kitah pengabdi-pelayan.

Rakyat muak tetapi para pengelola negara bergeming pada tradisi buruk nan busuk itu. Sudah mendapat gaji, tunjangan, dan pensiun dari uang rakyat, masih juga kurang. Birokrat hanya berpihak kepada pemilik uang lebih! Hukum hanya melindungi para pemilik duit lebih! Memang, ketamakan merupakan sisi lain tabiat manusia, dan manusia begitu bangga plus bahagia menjadi makhluk tamak, serakah, kemaruk dan sejenisnya sampai mampus.

Oleh karenanya, ketika KPK dibentuk dan dilakoni, rakyat menaruh pengharapan yang begitu besar kepada KPK. Bukan kepada Tuhan? Omong kosong pemberantasan korupsi diharapkan kepada Tuhan dan malaikat-Nya karena Iblis dan antek-anteknya begitu nyata di depan mata rakyat dalam wujud birokrasi.

Dan oleh karenanya juga, rakyat pun begitu gencar merepotkan diri untuk membela KPK. Saya pun mendukung pembelaan terhadap KPK. Kalau saya tidak mendukung, berarti saya setuju terhadap segala bentuk korupsi di Indonesia tercinta. Paling tidak, melalui tulisan naif saya ini.

*******

Panggung Renung, 2015

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun