Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Janganlah Malam Lupa Memberi Mimpi

25 Februari 2015   04:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam lamban selalu ditunggu buku majalah radio televisi toples gelas piring. Sejuk diseduh sarung penyerap bau badan. Merdu senandung serangga seperti kemarin-kemarin-kemarin seperti puisi-puisi basi bikin perut demonstrasi. Obat nyamuk diam-diam memanggil kantuk sedang nongkrong di ujung jalan masuk kampung dalam kota menghabiskan sisa arloji pemberian bos dari tamasya ke luarnegeri.

Malam membentangkan cermin jam dinding bergambar tadi pagi-siang-sore-kemarin-kemarin-kemarin seperti jerat kusut-masai seperti menonton video bolak-balik tersimpan dalam komputer jinjing. Sudah bagus. Kurang. Apa daya. Sayang sekali. Seandainya. Seharusnya. Coba nanti. Susah karena malam tidak mengubah jaring laba-laba nongkrong menunggu santapan di langit-langit. Cicak mengejar cicak mengusik wilayahnya tanpa tokek bisa kembali sejak mengendarai mobil baru. Seekor serangga tambun linglung di sekitar lampu karena Thomas Alfa Edison sudah lama pergi.

Malam segera menutup cermin tanpa jam dinding membentangkan layar baru debu-debu baru knalpot-knalpot baru robot-robot baru tumpukan baru melampaui langit-langit. Samar-samar. Lirih-lirih. Mata kewalahan menjangkau. Badan semakin erat di pembaringan berangin-angin.

Malam semakin selamban gerak jarum jam dinding. Kantuk mulai mengetuk mata menguak mulut. Gaduh sesaat menyengat malam temaram. Angin bermain tali. Kantuk menggelayuti bulu mata. Gaduh membolak-balik mulut menyengat malam temaram beringsut kelam. Angin menarik buku majalah radio televisi toples gelas piring ke luar pintu jendela puisi-puisi kurang gizi.

Malam menyaksikan mata kerepotan menanggung beban gembrot dari kemarin sampai nanti kapan. Sebentar lagi dengkur mengalahkan debur ombak pantai sana. Sebentar lagi dengkur mengalahkan deru mesin penebang pohon tua. Sebentar lagi dengkur mengalahkan dentum pertempuran. Sebentar lagi seperti malam kemarin-kemarin-kemarin.

Malam menengok lenggak-lenggok jarum jam dinding. Di lipatan dinding cicak komat-kamit. Janganlah malam lupa memberi mimpi. Yang baik silahkan saja. Yang buruk simpanlah saja. Yang bara sebatang kara. Yang abu sebatas angin. Biarkan malam membagi mimpi tidak hanya kepada bantal bersarung jejak mimpi kemarin.

Malam menyentuh saklar lampu di ujung mata bosan kemarin-kemarin-kemarin bermain besok-besok-besok dalam kepala menyimpan ingatan segala berita tatatatatata segala omong mongmongmongmong detak jam dinding dingdingdingding. Seketika buta membunuh malam.

*******

Panggung Renung, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun