Saya, jujur sajalah, tidak pernah peduli pada Hari Kasih Sayang-nya Valentine’s Day. Masa kecil sampai puber pertama alias jatuh cinta di kampung halaman (Sri Pemandang Pucuk), Sungailiat, Bangka, sama sekali tidak pernah ada sebatang coklat pun yang mendeklarasikan “Hari Kasih Sayang” apalagi “Valentine’s Day” sampai ke telinga saya. Jelas karena saya kampungan!
Saya barulah mendengar sebutan “Hari Kasih Sayang” alias “Valentine’s Day” ketika melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Menjelang 14 Februari saya sudah mendengar kasak-kusuk kawan-kawan untuk menyiasati hari ‘aneh’ itu. Dan seterusnya sampai saya menemukan asal-muasal hari ‘aneh’ itu. Aneh bagi saya yang jelas kampungan!
Keanehan berikutnya ketika hari ‘aneh’ itu dihubung-hubungkan dengan ajaran agama Kristen/Katolik. Lha jelas, kan, sejak kecil sampai puber saya tidak pernah mendengar istilah hari ‘aneh’ itu di gereja kami.
Keanehan lainnya, Yesus Kristus tidak pernah menyebut-nyebut atau menyinggung soal hari ‘aneh’ itu dalam Injil. Lantas, dari mana munculnya perayaan hari ‘aneh’ sedunia itu? Jangan tanya saya dong; saya, ‘kan, orang kampung. Cari sendiri di internet.
Keanehan tingkat lanjut, ada yang selalu menuduh bahkan menghakimi bahwasannya hari ‘aneh’ itu merupakan tradisi Kristen Barat. Waduh! Kristen disamakan dengan Barat padahal Yesus Kristus bukanlah orang Barat. Terus, dikaitkan pula dengan tradisi Romawi kuna. Waduh! Injil tidak pernah menuliskan bahwa Yesus Kristus dilahirkan di Roma, Italia. Injil juga tidak pernah menuliskan bahwa Yesus Kristus merayakan hari ‘aneh’ itu.
Begitulah. Saya tidak penah peduli dengan hari ‘aneh’ itu, walaupun seluruh dunia meributkannya. Namun, saya merasa keanehan bertambah lagi ketika ada larangan ‘merayakan Hari Kasih Sayang’ karena dihubung-hubungkan dengan keperawanan.
Ada semacam ketakutan (phobia) pada kata “Kasih Sayang” (bukan Valentine’s Day, karena saya memakai Bahasa Indonesia saja) yang tiba-tiba mengalami penyempitan makna (hubungan antara laki-laki dan perempuan di luar nikah) alias mesum melulu. Ada semacam kekhawatiran terhadap remaja, padahal sewaktu kecil pun saya tidak perawan. Ada semacam ketidakpercayaan pihak orang tua terhadap pergaulan remaja bahkan kepada anak gadis mereka sendiri, padahal mereka dulu juga pernah remaja, atau jangan-jangan... (terserahlah, mau diisi apa!).
Dan, berdasarkan pengalaman kampungan saya, kalaupun 14 Februari bertepatan dengan hari Minggu, di gereja kami tidak pernah terjadi ritual seks bebas massal! Dalam Injil Yesus Kristus tidak pernah mengajarkan perilaku atau ritual seks bebas apalagi secara massal.
Menurut kekampungan saya, Hari Kasih Sayang at Valentine’s Day tidak lebih dari strategi kapitalisme-hedonisme memanfaatkan cerita ini-itu yang telah di-lebay-kan. Ya, apa lagi kalau bukan bisnis coklat dan pewarna merah jambu! Tidak lebih dari strategi bisnis, lantas diraya-rayakan.
Sekali lagi, jujur saja, saya bukanlah pecandu merah jambu dan pecinta coklat. Serta, menurut saya, kasih sayang bukanlah suatu perayaan apalagi hanya satu hari seperti itu. Namun saya akan selalu merahasiakan masa lalu saya yang sering ditolak gadis-gadis sehingga menjadikan saya memvonis diri sendiri untuk tidak peduli pada Hari Kasih Sayang at Valentine’s Day! Titik!
*******
Panggung Renung, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H