[caption caption="Lukisan Sendiri"][/caption]Pada waktu itu aku kecewa, jengkel, dan penasaran pada seorang gadis yang belum mau mengatakan asal-muasal atau alamat tempat tinggalnya. Padahal, kami sudah lebih dari tiga kali bertemu di tepi Dermaga Muntok, Bangka Barat.
“Perkenalkan, namaku Oji. Lengkapnya Saroji,” kataku sambil menyodorkan telapak kanan. “Aku berasal dari Sungailiat, tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas. Kalau kamu pergi ke kota di timur pulau kita ini, kamu pasti melewati kampungku. Siapa namamu?”
“Hihihi… namanya lucu amat,” tukasnya dengan bibir terkuak dan menampilkan barisan giginya yang tertata rapi seperti barisan tentara yang tertib dan disiplin.
Walah, gadis ini malah tidak menghargai namaku. Aku sungguh-sungguh mengajak berkenalan, bukannya hendak melawak. Uluran perkenalanku belum juga disambutnya.
“Apakah namaku penting bagimu?”
Aduh, Mak! Gadis ini masih saja tidak menjawab pertanyaanku dengan semestinya. Kembali rasa penasaran, kecewa dan jengkel membaur dalam jiwaku.
Sementara sambil duduk berdampingan di tebing tembok miring ini, pandangan kami lurus ke ujung barat yang terpampang senja sedang membuat lukisan dirinya dengan warna-warna kencana pilihan yang cemerlang, mengombak-ombak mengikuti kontur permukaan laut, dan sebuah mercu suar warisan kolonial Belanda di Tanjung Kelian kian memercantik aksi seni rupa bola cahaya itu.
***
Sejak aku berada di Kota Wisata Sejarah untuk kepentingan pariwisata pribadi (seumur-umur aku hidup di Pulau Bangka, masak, sih, aku hanya tahu Sungailiat dan Pangkalpinang, atau tahu tentang kota yang menjadi gerbang Bangka-Palembang ini melalui omongan orang serta berita di koran daerah saja?) tapi malangnya aku tidak mendapatkan tumpangan untuk kembali ke kotaku (jarak kotaku dengan kota ini ditempuh sampai tiga jam perjalanan, dan aku baru tahu bahwasannya angkutan umum sudah habis setiap perahu cepat dari pulau seberang datang pada pukul 14.00-an), pesona senja langsung menyihir perasaan kagumku seperti keterpukauanku pada panorama pijar fajar yang merangkak di kaki langit timur di Kampung Nelayan, di kotaku.
“Sedang matahari juga kita tahu dari mana datangnya, dan akan ke mana dia pulang. Burung-burung walet di langit terminal itu pun akan pulang ke gedung penginapannya.”
Kalimatku itu ditanggapi oleh gadis itu dengan sekuntum senyum saja. Apa yang kaurasakan bila pertanyaan, kepenasaran dan pancingan berupa perumpamaanmu ditanggapi hanya dengan sekuntum senyum nan ranum?