Setelah melunasi sewa pondok itu aku kembali menuju kamu sembari berpikir, jangan-jangan anak tadi sudah menyaksikan percumbuan antara aku dan kamu sejak awal. Ah, dasar hantu cilik, suka bergentayangan mengintip orang dewasa sedang berasyik-masyuk.
Tapi apalah hantu cilik dibanding keberadaan kamu yang sedang duduk di pondok itu. Kamu bukanlah hantu melainkan bidadari yang mendadak turun dari langit Sungailiat–kalau kusebut “langit Jakarta”, kenapa bidadari repot naik angkutan umum semacam pesawat terbang atau kapal.
Ya, kamu memang bidadari sampai-sampai angin pun merampas kesempatan di depan mataku dengan seenaknya membelai rambut sebahumu. Kalau angin bisa kuhajar, pasti kuhajar sekarang juga. Tapi, itulah, risiko menjadi bidadari. Jangankan manusia sangat mendambakannya hingga nekat melakukan bom bunuh diri, angin pun memunyai keinginan yang sama dengan manusia. Lengah sedikit, angin langsung merampas kesempatan.
“Kenapa?” Singkat-padat pertanyaanmu ketika jarak aku dan kamu terpaut 2 meter saja.
“Tidak apa-apa. Aku lupa bayar sewa pondok.”
“Seperti sewa kamar saja.”
“Ha-ha-ha-ha! Sesekali sewa pondok.”
“Sudah biasa sewa kamar, ya?”
“Biasa banget. Sejak SMA aku sudah menyewa kamar.”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Itu ngekos namanya, dodol!”
Aku tidak perlu menanggapi kata “ngekos”, yang bisa bercabang ke arah lainnya. Tidak penting sama sekali. Yang penting dan terpenting, ada kamu di depanku, dan tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar aku dan kamu pada saat ini. Ada bidadari yang langsung mendatangiku, dan sudah terjadi aksi-reaksi melumat pikiran yang tidak perlu.