Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrat Bubar, Grak!

17 Juli 2014   10:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:06 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini hanyalah ramalan, yang dalam bahasa kerennya : prediksi. Yang namanya ramalan, tentu saja, sangat mungkin meleset. Jangankan ramalan semacam ini, lha wong, ramalan Sang Paranormal Permadi saja sampai meleset dua kali. Dua kali?

Ya, dua kali ramalan Politisi Gerindra yang juga mantan Politisi PDIP itu meleset. Pertama, pada 27 Februari 2012, Permadi meramalkan bahwa SBY-Boediono akan turun "tahta" sebelum 2014. Kedua, pada 22 Februari 2014 Permadi meramalkan lagi bahwa SBY akan lengser sebelum masa jabatannya selesai. Kenyataannya?

Sama halnya dengan tulisan yang seolah ramalan ini. Kemelesetan merupakan hal yang sangat mungkin alias niscaya. Manusia boleh saja meramal atau berandai-andai, tetapi takdir bisa berada di luar ramalan-andai. Jadi, bagaimana? Silakan menyimak.

Sekilas tentang Partai Demokrat

Demokrat adalah SBY; SBY adalah Demokrat. Partai berlambang bintang Mercy ini tidak bisa dilepaskan dari figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)– Presiden Republik Indonesia ke-7..

Situs resmi Partai Demokrat (PD), www.demokrat.co.id, menuliskan sejarahnya, “Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001.”

Pada situs www.pemilu/demokrat tertulis, “Partai Demokrat adalah sebuah partai politik Indonesia yang didirikan pada 9 September 2001 dan disahkan pada 27 Agustus 2003. Pendirian partai ini erat kaitannya dengan niat untuk membawa Susilo Bambang Yudhoyono, yang kala itu menjadi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan di bawah Presiden Megawati, menjadi Presiden Indonesia. Karena hal inilah, Partai Demokrat sangat berkaitan erat dengan figur Yudhoyono.

Partai Dibangun dengan ‘Menjual’ Figur untuk Meraup Belas Kasihan

Rakyat Indonesia adalah kelompok manusia yang paling mudah menaruh ‘belas kasihan’ kepada seseorang (figur) pada suatu peristiwa, termasuk peristiwa politik. Peristiwa tersebut adalah ketika SBY – selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) – dijuluki “Jenderal Kekanak-kanakan” oleh suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas, pada 1 Maret 2004.

Menurut catatan Vivanews (9 Juni 2013), Taufiq Kiemas menyebut SBY sebagai "jenderal kekanak-kanakan" karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan. "Kalau anak kecil lagi genit-genitan, ya merasa diisolasi seperti itu. Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, lebih baik mundur," kata Taufiq, pedas.

Peristiwa itu, tentu saja, didului oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya. Menurut Vivanews berdasarkan buku Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono karyaGarda Maeswara (2010), “Antara Januari hingga Februari 2004, SBY beberapa kali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan. Misalnya, soal kunjungan beberapa pejabat ke Aceh. Padahal, SBY saat itu menjabat sebagai Menko Polkam.”

Mengapa “SBY beberapa kali tidak dilibatkan”? Garda Maeswara mencatat, “Partai Demokrat yang berdiri 2001 makin membuat nama SBY melesat. Di beberapa survei tahun 2003, nama SBY muncul sebagai calon presiden dalam berbagai macam jajak pendapat. Setidaknya, SBY menempati urutan lima besar. Megawati yang saat itu presiden punya keinginan duduk lagi di kursi nomor satu Indonesia. Namun, dia menyadari bahwa kepopuleran SBY yang melesat begitu cepat, dapat menyingkirkan dirinya.”

Mengapa bisa begitu? Coba kembali melihat sekilas tentang PD tadi. Situs resmi Partai Demokrat (PD), www.demokrat.co.id, menuliskan sejarahnya, “Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001.”

Dari bukunya, Selalu Ada Pilihan (2014), SBY menulis, “Saya sakit dan sedih. Omong kosong kalau ada yang mengatakan kalah dalam pemilihan presiden atau wakil presiden itu biasa. Tidak. Ada sedihnya.”

SBY juga menulis, “Saya berani maju karena polling yang dilakukan berbagai lembaga survey menunjukkan dukungan rakyat untuk saya tinggi. Hasil polling itu bahkan jauh lebih tinggi ketimbang tokoh lainnya.” Namun, toh, hasil survei itu tak sesuai dengan kenyataan. Menurut SBY, dari lima calon wakil presiden, perolehan suaranya masih di bawah Hamzah Haz dan Akbar Tanjung. Akhirnya, Hamzah Haz yang saat itu merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan menjadi wakil Mega.

Ya, SBY sakit hati dan sedih karena tidak dipilih oleh Megawati menjadi wakil presiden R.I., sewaktu Megawati menggantikan Gus Dur yang ‘dipecat’ oleh MPR yang dikomandani Amien Rais. Megawati malah memilih Hamzah Haz sebagai wakilnya di kepresidenan pada tahun 2001. SBY hanya menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Dari semua itu jelaslah bahwa PD dibangun bukanlah atas dasar kesadaran murni seorang SBY beserta para pendirinya, termasuk Soetan Bathugana, untuk Indonesia, melainkan karena sakit hati dan sedihnya seorang SBY. Sakit hati, sedih, dan sebutan ‘jenderal kekanak-kanakan’ kemudian dijadikan bahan manuver politik untuk mengesankan bahwa SBY ‘didzolimi’ oleh Presiden Megawati ketika itu.


Dengan politik ‘belas kasihan’ itu SBY pun berhasil menjadi Presiden R.I. ke-6! Luar biasa hebatnya pengaruh ‘belas kasihan’ rakyat Indonesia ketika itu. Saat itu SBY menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.

Presiden yang Dilompati oleh Wakilnya

Masa pemerintahan SBY-JK diwarnai oleh perbedaan ‘kecepatan’ mengambil kebijakan. Hal pertama yang terlihat adalah kebijakan soal harga Bahan Bakar Minyak pada Maret 2005. Semula SBY mengatakan bahwa tidak akan ada kenaikan harga BBM. Namun, JK mengatakan bahwa harga BBM akan naik.

Yang terjadi? Pada 1 Maret 2005 harga BBM naik. Artinya, kebijakan pemerintah adalah dari perkataan JK, bukannya SBY Sang Presiden. Begitu pula dalam kebijakan konversi minyak tanah ke gas, dimana lagi-lagi JK melampui pertimbangan SBY.

Tindakan ‘over acting’-nya JK kemudian berbuntut: JK tidak lagi diajak oleh SBY menjadi wakil presiden dalam Pilpres 2009. SBY memilih menggandeng Boediono, seorang akademisi yang non-partai, dan akhirnya menang dalam Pilpres 2009.

Kampanye Anti-Korupsi 2009

“Katakan ‘Tidak’ pada Korupsi” adalah slogan kampanye PD yang paling terkenal pada Pileg 2009. Slogan tersebut tampil dalam iklan yang disiarkan oleh stasiun-stasiun televisi. Para memerannya, di antaranya, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Alfian Malarangeng, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas (anak bungsu SBY-ani Yudhoyono), dan SBY sendiri.

Dengan slogan kampanye tersebut, PD kembali berhasil PD memuncaki klasemen perolehan suara dengan jumlah 20,85%, meski sebenarnya merosot 5,55% suara dari Pileg sebelumnya (2004, 26,40%). Namun, apa yang terjadi?

Kasus Korupsi

Publik Indonesia digegerkan oleh kasus korupsi proyek Wisma Atlit, Hambalang, Bogor, yang melibatkan kader-kader PD, yaitu Nazarudin (mantan Bedahara Umum PD), Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum PD). Disusul oleh kasus SKK Migas yang melibatkan Sutan Bathugana (anggota pendiri PD)dan Tri Yulianto (anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat).

Dalam skala nasional lainnya, di antaranya, Amrun Daulay (ketika menjabat Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial di Kementerian Sosial), As'ad Syam, Jhoni Allen Marbun (Wakil Ketum Partai Demokrat), dan lain-lain (menunggu waktu).

Juga dalam skala regional. Tercatat nama-nama : R.E. Siahaan (mantan Wali Kota Pematang Siantar, Sumut), Djufri (anggota DPR dari Fraksi Demokrat yang mantan Wali Kota Bukittinggi, Sumut), Agusrin Najamudin (Gubernur nonaktif Bengkulu), Sukawi Sutarip (Walikota Semarang, Jateng), Ismunarso (Bupati Sitobondo, Jatim), Yusran Aspar (anggota DPR periode 2009-2014 Dapil Kaltim), Andrias Palino Popang (Wakil Bupati Tanah Toraja, Sulsel) Yusak Yaluwo (Bupati Boven Digoel, Papua), dan lain-lain.

Yang sedang ditunggu-tunggu adalah kasus Bank Century yang merugikan negara juga membawa-bawa kesan adanya peran SBY melalui gubernur B.I. dan menteri keuangan ketika itu.

Istri Presiden yang Reaktif

Istri Presiden SBY adalah Herawati Kristiani alias Ani Yudhoyono. Menikah dengan SBY pada tanggal 30 Juli 1976, ketika SBY baru saja dilantik menjadi Perwira TNI dan menjadi lulusan terbaik. Ani Yudhoyono juga adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah.

Ani Yudhoyono juga aktif dalam kegiatan fotografi dan media jejaring sosial (Instagram) dengan akun pribadi @aniyudhoyono. Sayangnya, Ani Yudhoyono tidak menyadari posisi yang sedang dijalaninya (istri kepala negara dan ketua umum PD 30 Maret 2013). Beberapa kali Ibu Negara dua periode ini bertindak reaktif di media jejaring sosial.

"Saya jengkel, ada yang menulis, 'Ibu ini banjir, kok, main Instagram'," kata Ani saat membuka rapat Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) di Istana Negara, Kamis, 16 Januari 2014. Sebelumnya, sepanjang Agustus hingga Desember 2013, Ani juga beberapa kali berkomentar dengan nada pedas pada setiap kritik yang mampir ke akunnya itu.

Anjloknya Angka Perolehan Suara

Pada Pileg 2014 yang diikuti oleh 12 partai, dan hasilnya disampaikan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik ketika memimpin rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil penghitungan suara Papua Barat di Kantor KPU, Jakarta, pada 6 Mei 2014. Perolehan suara dan posisi PD mengalami kemerosotan yang drastis. PD memperoleh 10,19%, dan posisi ke-4, di bawah Partai Gerindra (11,81%), Golkar (14,75%), dan PDIP (18,95).

Padahal, pada Pileg 2009 yang diikuti oleh 9 partai, PD memuncaki klasemen perolehan suara dengan jumlah 20,85%. Suara tersebut unggul6,40% dari partai urutan kedua, Golkar (14,45%), unggul 6,55% dari partai urutan kedua, PDIP (14,03%), dan unggul 16,39% dari partai urutan kedelapan, Gerindra (4,46%).

Padahal lagi, pada Pileg 2004, PD memuncaki klasemen perolehan suara dengan jumlah 26,40% dengan jumlah peserta Pileg sebanyak 39 partai. Suara tersebut unggul7,48% dari partai urutan kedua, Golkar (18,92%), dan unggul 9,62% dari partai urutan ketiga, PDIP (16,78%).

Dari tiga kali Pileg, terlihat, pertama, Golkar konsisten di posisi kedua dengan rata-rata suara 16,04%, meski terlihat turun (4,17%) dibanding Pileg 2004. Kedua, PDIP, dua kali di posisi ketiga lalu mencapai posisi pertama dengan rata-rata suara 16,59%, yang terlihat naik (2,17%) dibanding Pileg 2004.

Sedangkan PD tidak mampu bertahan, bahkan kehilangan suara sebesar 10,66% atau hampir separuh dari perolehan suara pada Pileg 2009, atau malah turun tajam sebanyak 16,21% dibanding Pileg 2004. Memang, awalnya penurunan hanya 5,55% (2004-2009), kemudian 10,66% (2009-2014), atau rata-rata turun 8,105%. Namun, sejak kemunculannya tahun 2004 sampai pada Pileg 2014 (10 tahun), jelas penurunan angka 16,21% sangatlah banyak. Padahal sudah ada ‘warning’ mengenai elektabilitas PD yang turun sebelum Pileg 2014 lalu.

Penurunan yang drastis dan posisi yang merosot ke urutan ke-4 menandakan bahwa partai ini sudah mulai kurang dipercaya oleh rakyat, dan pemilihnya sudah beralih ke partai lain. Penyebab yang paling mungkin justru berasal dari SBY selaku Presiden, orang-orang terdekat (keluarga), dan kader-kader PD yang terlibat kasus korupsi serta hal-hal lainnya yang dipandang kurang ‘etis’ di mata rakyat.

Akhir Jabatan Presiden SBY 2014

Pada 31 Juli 2013 di Merdeka.com dengan judul SBY Panik Menjelang Akhir Jabatan, Didik Supriyanto menulis,Dalam enam bulan terakhir, banyak peristiwa yang menunjukkan kepanikan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.” Didik pun memaparkan ini-itu, yang pada penghujung tulisannya berbunyi, “Maklum, saat ini SBY bukan hanya seorang presiden yang harus memimpin pemerintahan, tetapi juga seorang ketua umum partai yang tengah mengejar sukses Partai Demokrat dalam Pemilu 2014.”

Itu tulisan hampir satu tahun lalu. Kepanikan sudah terendus, dan pada hasil resmi Pileg 2014 tertera peroleh suara dan posisi PD yang berubah. Juga, dari berita Tribunnews (20 Juni 2014), dimana Presiden SBY dan Ani Yudhoyono belum lama turun dari pesawat (setelah lawatan ke Republik Fiji) tapi para menteri segera mendului untuk pulang.

Memang peristiwa ini tak seperti tradisi biasanya dalam menyambut Presiden yang pulang dari luar negeri. Biasanya, para menteri akan berjajar rapi di belakang Presiden dan Ibu Negara Ani Yudhoyono untuk mengantarkan mereka pulang. Biasanya, setelah keluar gedung, SBY dan Ani langsung memasuki mobil dinas. Para menteri pun baru meninggalkan lokasi selepas iring-iringan rombongan Presiden meninggalkan bandara,” tulis berita tersebut.

Apa boleh buat, inilah resiko atas pencitraan. 20 Oktober 2014 tinggal sekitar tiga bulan lagi. Meredupnya citra SBY sebagai presiden sekaligus figur figur kuat di PD, kemerosotan suara dan posisi, kasus sana-sini, dan seterusnya cenderung berpotensi sebagai antiklimaks SBY-PD selama lebih 10 tahun.

Kader “kutu loncat” bin oportunistis

Kegusaran atas masa depan PD pun disikapi secara terbuka oleh dua kadernya, yaitu Hayono Isman dan Ruhut Sitompul. Penyikapan tersebut bukanlah dengan cara membenahi kinerja kader dan mesin partai, melainkan dengan melakukan “manuver politik” menjelang Pilpres 2014.

Pada 1 Juli 2014 anggota Dewan Pembina PD, Hayono Isman, merapat ke kantor Sekretariat Nasional “Jokowi-Jk” Jenggala Center, Menteng, Jakarta. Alasan mantan anggota kader Golkar (1987-1992 dan 1992-1997) sekaligus menteri Pemuda dan Olah Raga 1993-1998 ini, "Kalau saya lihat secara jujur, dalam visi ekonomi justru konsep ekonomi Jokowi lebih dekat kepada konsep ekonomi SBY. Jadi lebih realistis dijalankan dalam rangka kelanjutan pembangunan di Tanah Air. Yang baik diteruskan, yang tidak baik jangan diteruskan."

Pada waktu dan tempat yang sama, kader PD 2004-2009 dan dulunya kader Golkar (1983) Ruhut Sitompul pun merapat. "Saya pendukung kok. Saya tetap kader Partai Demokrat. Bukan partaiku yang pertama, tapi partaiku yang terakhir. Hidup aku mengalir. Jadi aku tetap dengan Pak Jokowi," tandas mantan Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika Partai Demokrat itu.

Kedua ‘kutu loncat’ ini memang paling menonjol ketika bergabung dengan kubu Jokowi-JK pada saat SBY-PD merapat ke kubu Prabowo-Hatta pada 30 Juni 2014. Meloncatnya kedua kader PD itu tentunya bukanlah sekadar ‘manuver’ politik. Karakter oportunis keduanya sudah teruji, dimana berpindah dari partai (yang saat itu sedang memasuki masa pailit) ke partai yang sedang ‘naik daun’ tapi kemudian ‘anjlok’, lantas bergabung dengan koalisi Jokowi yang sedang ‘naik daun’.

Bukan tidak mungkin, kedua oportunis ini juga melihat bahwa prospek PD merapat ke Koalisi Permanen Merah Putih tidaklah akan positif (menguntungkan) namun justru semakin membuat PD terpuruk, khususnya jika Prabowo-Hatta kalah pada Pilpres 2019 berdasarkan keputusan resmi KPU. Oleh sebab itu kedua oportunis ini segera mengambil ancang-ancang untuk meloncat dari keruntuhan bagunan PD.

Mau Apa Lagi?

SBY sudah habis berarti PD meringis dengan anjloknya perolehan suara pada Pileg 2014 secara drastis. Sebagian kader pentolannya, termasuk seorang pendirinya (Sutan Bathugana) masuk penjara lantaran korupsi. Sebagian lagi terpecah dalam dua kubu capres. Anak bungsunya belum siap memimpin.

Dan, kalau rata-rata penurunan suara PD pada setiap Pileg adalah 8,105%, bisa jadi PD menjadi peserta Pileg hanya tinggal satu kali, yaitu Pileg 2019 dengan perolehan suara 2,085% alias masuk kategori tereliminasi. Pada Pileg 2024, kalau diandai-andai secara matematis, PD bisa meraih suara minus.

Nah, mau apa lagi? Apakah mau dilanjutkan dengan terseok-seok menuju Pileg dan Pilpres 2019 dengan tingkat kekuranganpercayaan rakyat akibat polah-tingkah internal PD sendiri? Atau, percaya pada ramalan ini?

*******

Sabana Karang, 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun