Matahari sudah tidak lagi melukisi bayang pepohonan liar memanjang hingga di tengah jalan baypass yang sedang saya lewati menuju proyek. Jalan selebar 8 meter masih tanah merah dengan dua jejak roda-roda yang mengeras
Apa boleh buat. Sebab lokasi proyek berada di pertengahan jalan tersebut yang berjarak kira-kira 3 km dari indekos saya. Seringkali sepeda motor, sedan, mobil kapsul berplat merah hingga truk-truk besar berkecepatan lebih dari 60 km/jam lalu-lalang, membuyarkan debu-debu yang lantas membungkus saya dan motor saya.
Saya ingin segera tiba di proyek, meski motor bebek 2 tak keluaran tahun 1975 ini menggelinding tertatih-tatih. Saya khawatir beberapa tamu dari pemerintah daerah bahkan direktur saya mendadak muncul di lokasi untuk meninjau proyek yang saya awasi sejak empat bulan ini. Jangan sampai orang-orang penting itu datang lebih dulu, lantas melihat saya sedang tidak berada di tempat. Bisa berakibat mereka jera memercayakan saya sebagai pengawas di proyek berikutnya. Bisa-bisa memengaruhi perjalanan karier saya di saat usia saya baru kepala dua.
Ini proyek uji-coba pertama untuk saya. Selama bekerja di konsultan bangunan itu, saya berurusan dengan administrasi, kurir dokumen perencanaan, dan menagih uang kontrak melulu. Karena kekurangan tenaga pengawas lapangan, akhirnya saya yang ditugaskan.
Setiba saya di jalan masuk proyek, tidak terlihat mobil siapa-siapa. Aman, pikir saya. Kecuali sepeda motor bebek 4 tak baru, entah milik siapa. Kemudian saya parkirkan motor di kolong direksi keet, berdekatan dengan tumpukan semen. Tempat paling teduh sebab pepohonan telah disingkirkan oleh buldoser sewaktu pembersihan lokasi proyek, kendati kalau ada pekerja mengambil semen maka motor saya jadi berbedak debu semen.
Di pinggir halaman bangunan yang permukaan tanahnya masih telanjang dan tidak rata tampak Mandor Suryadi tengah bicara dengan seorang pemuda berjaket kulit. Keduanya berdiri dengan sikap kaku. Siapa pula pemuda itu, pikir saya. Tas saya geletakkan begitu saja di atas jok motor, saya bergegas menuju mereka.
Dari jarak 10 meter terlihat air muka Mandor Suryadi tidak menyuguhkan senyum khasnya. Sementara lawan bicaranya menampilkan kening berkerut dan bibir berkerucut. Saya mempercepat langkah hingga setengah berlari. Matahari menjilati kepala dan jaket saya.
“Ada apa, Bos?” tanya saya setelah berjarak kira-kira dua meter dari keduanya.
“Ini lho, Pak Oji. Mas ini minta aku tunjukkan gambar kerja. Padahal sudah aku bilang, gambar kerjanya dibawa bos pemborong tadi malam. Lagian bangunan kita ini kan tinggal dua puluh lima persen lagi rampung. Mas ini nggak percaya. Disangkanya aku bohong. Mau sumpah pocong, aku nggak takut!” jawabnya sambil menoleh ke arah saya. Posisi badannya tetap menghadap pemuda itu. Kicauan burung-burung liar terdengar sayup-sayup.
Saya percaya Mandor Suryadi tidak bohong karena semalam Mandor Suryadi mengirim pesan singkat ke ponsel saya. Isinya, mau pinjam gambar kerja yang ada di tempat saya untuk menempatkan setiap titik kuda-kuda. Soalnya tadi malam bos pemborong berencana datang, mengambil gambar kerja untuk menghitung jumlah kayu gording, kayu usuk, reng, dan genteng. Tapi hari ini saya lupa membawanya gara-gara tergesa-gesa datang setelah rampung mencuci sekeranjang pakaian saya sendiri.
Saya berhenti di antara keduanya. Saya menatap pemuda itu. Kebetulan dia sedang menatap saya. Nyala matanya belum reda. Bibirnya menyeringai.