Idul Fitri 1 Syawal 1435 H atau lebaran tahun 2014 M tiba-tiba menjadi catatan tersendiri bagi saya dan Indonesia, selain masa kelegaan atas terselenggaranya pelaksanaan Pilpres 2014. Apa lagi kalau bukan tentang kejadian duka dan luka dalam acara rumah terbuka bagi rakyat (open house) pada hari kedua Idul Fitri, Selasa, 29 Juli, di kediaman wakil presiden terpilih (versi KPU) Jusuf Kalla (JK), Jalan Haji Bau, Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurut berita sebuah media yang saya baca (karena tidak melihat langsung di tempat kejadian), kejadian duka dan luka itu adalah satu orang tewas dan enam orang lainnya mengalami luka-luka akibat berdesakan saat mengantre sedekah. Korban tewas bernama Hadika (11 tahun) yang masih kelas VI SD, warga Rappokalling, Tallo, Makassar. Hadika yang datang bersama ibunya, Nahu (38 tahun) itu tewas setelah berdesakan dan terinjak massa. Awalnya, mereka datang bersama rombongan untuk masuk ke kediaman JK. Saat mengantre itulah, korban terjatuh dan terinjak-injak ribuan warga yang ingin mendapat sedekah berupa satu dus kue dan uang tunai Rp. 50.000,-.
Tradisi Bagi Uang pada Hari Raya
Tentang bagi-bagi uang pada sebuah hari raya, menurut pengetahuan dangkal dan pengalaman minimalis saya, awalnya dilakukan oleh masyarakat Tionghoa pada waktu Imlek. Istilahnya “angpao”. Dalam tradisi Imlek angpao diberikan oleh suatu keluarga, dimana orangtua atau orang yang sudah dewasa-bekerja kepada orang-orang yang usianya lebih muda dan belum bekerja.
Angpao berupa amplop merah yang berisi uang. Jumlahnya beragam, tergantung usia anak atau orang muda yang belum bekerja itu. Kalau tidak salah ingat, di rumah seorang kawan terdapat sebuah pohon mungil yang tergantung amplop-amplop angpao pada ranting-rantingnya.
Saya mengetahui dan menyaksikan sendiri ketika masih tinggal di Sungailiat, Bangka. Mayoritas kawan sekolah saya (TK-SD-SMP Maria Goretti) beretnis Tionghoa dan beragama Kong Hu Cu. Sebagian tetangga saya (tujuh keluarga) juga beretnis Tionghoa-Kong Hu Cu Setiap Imlek, saya sering berkunjung ke rumah mereka, atau paling tidak, mendengar cerita mengenai angpao.
Sementara dalam tradisi Natal dan Tahun Baru saya tidak pernah melihat adanya bagi-bagi uang (angpao). Jangankan bagi-bagi uang berskala luas (ke luar rumah suatu keluarga), antarsaudara pun tidak pernah terjadi. Kalaupun dalam tradisi Natal sebagian orang Kristiani mengenal mitos mengenai sosok Sinterklas yang suka membagikan hadiah kepada anak kecil, tetaplah tidak ada tradisi membagikan uang.
Lingkungan sekitar saya di kampung halaman, yang bermayoritas penduduk beretnis Melayu Bangka dan beragama Islam, juga tidak terlihat adanya cerita membagikan uang semacam angpao. Belasan tahun berada di kampung halaman, tentu saja saya berani memberi kesaksian mengenai itu.
Tradisi Bagi Uang pada Idul Fitri
Lulus dari bangku SMP, saya melanjutkan jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta. Selama bersekolah di Yogyakarta, setiap libur Idul Fitri saya pasti ‘mudik’ ke rumah kakek-nenek saya (dari pihak Ibu) di dusun Clepor, kelurahan Ngadirejo, kecamatan Mojogedang, kabupaten Karanganyar, karisidenan Surakarta, Jawa Tengah.
Di dusun terpencil yang dikelilingi sungai (utara dan selatan) dan persawahan itu saya mulai mengenal adanya bagi uang pada waktu Idul Fitri. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam, termasuk keluarga besar Ibu saya, di sana menyebutnya dengan istilah “fitrah”, dan pemberiannya secara polos alias tanpa dibungkus amplop. Itu pun masih dalam lingkup satu keluarga.
Selain pernah ber-Idul Fitri di Jawa Tengah, saya pun pernah ber-Idul Fitri di Jakarta, tepatnya di kompleks Perumahan Penerangan, kelurahan Jelambar, Jakarta Barat. Di situ tidak ada istilah “fitrah”. Entah apa istilahnya. Tetapi saya tidak pernah menyaksikan rombongan anak-anak atau orang dewasa mengunjungi suatu rumah untuk meminta uang.
Ketika berada dan menetap di Balikpapan, Kalimantan Timur, barulah saya melihat tradisi bagi uang pada saat Idul Fitri. Semula saya terheran-heran menyaksikan segerombolan orang, baik anak-anak maupun emak-emak di depan sebuah rumah. Ternyata mereka menunggu pembagian uang Idul Fitri, yang jumlahnya saya tidak tahu.
Berikutnya di rumah kawan saya, seorang mandor beretnis Madura. Saya melihat kawan saya menggenggam uang dengan nominal Rp. 2.000,-. Awalnya saya tidak tahu, untuk apa atau siapa uang sebanyak itu. Tetapi begitu serombongan anak-anak datang, si kawan ini langsung memberikan uang tersebut. Satu lembar (Rp.2.000,-) untuk satu anak. Tanpa duduk dan berbicara sewajarnya tamu kepada tuan rumah, anak-anak itu pun langsung pergi setelah menerima uang.
Dari dua tempat itu barulah saya mengerti bahwa kegiatan membagi uang merupakan suatu tradisi dalam Idul Fitri di Balikpapan. Saya pun tidak heran lagi, termasuk ketika orang-orang Balikpapan sibuk mencari penukaran uang untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anak-anak yang berkunjung ke rumah mereka ketika Idul Fiti.
Mengapa Ada Tradisi Bagi Uang dalam Idul Fitri?
Lho, mengapa bertanya begitu pada saya? Tentu saja saya tidak mengetahui jawabannya karena saya dan keluarga di Balikpapan tidak merayakan Idul Fitri alias non-muslim. Saya juga tidak akan berusaha keras untuk mencari jawaban atas “mengapa”, “sejak kapan”, dan “siapa pelopornya”.
Melalui tulisan ini saya hanya ingin berbagi kisah berdasarkan pengalaman saya yang masih sangat sedikit ini, berkaitan dengan kejadian duka-luka dalam acara “open house” di kediaman JK tadi. Barangkali Pembaca bisa memberi tambahan untuk melengkapi tulisan ini.
*******
Sabana Karang, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H