Sejak memulai usaha sendiri (mandiri) berupa pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), saya sudah terbiasa memegang salinan sertifikat tanah milik orang lain, minimal berstatus Izin Menggunakan Tanah Negara (IMTN). Hal ini karena salah satu syarat mengurus IMB adalah surat izin kepemilikan tanah bagi calon pemohon IMB.
Dalam perjalanan usaha mandiri dan pada saat sedang membuat mural (lukisan dinding) di sebuah tembok wilayah RT kami saya disinggahi oleh seorang tetangga.
Saya tidak tahu, dari mana saja dia bepergian hingga singgah sejenak di situ. Sambil memainkan kuas dan cat, saya dan dia ngobrol santai. Beginilah selumrahnya bagian dari pergaulan sosial sesama warga.
Setelah itu dia pulang karena memang sudah malam, sementara saya masih terus melanjutkan kegiatan mural dengan diterangi lampu dari garasi sebuah kantor usaha properti.
Malam berikutnya saya disinggahinya lagi. Ngobrol lagi. Dan sampailah pada tahap obrolan jual-beli tanah, yang merupakan pekerjaan dia sejak beberapa tahun terakhir seusai pensiun sebagai supir pribadi seorang kepala dinas di Balikpapan.
Ya, dia seorang makelar rumah-tanah. Kata “makelar” mungkin sama dengan sales bahkan marketer (pemasar). Dengan harga dasar (asal) dari pemilik, dia akan menjual dengan harga baru sesuai dengan persepsinya mengenai kelayakan sebuah harga baru dan keuntungan nominal yang akan diraih.
Modal Sertifikat dan Omongan
Dalam obrolan ‘bisnis properti kecil-kecilan’ itu saya berasumsi secara sok tahu bahwa dia belum benar-benar gencar melancarkan strategi bisnisnya, khususnya pemasaran (marketing). Andalan utamanya adalah surat sertifikat tanah dan strategi pemasaran tradisional (mulut ke mulut; mouth to mouth). Belum “kekinian” alias masih “keduluan”. Itu saja.
Itu saja? Iya. Bahkan ada satu ‘bisnis’-nya yang belum juga terjual (sold out) selama lebih enam bulan, yaitu sebuah rumah yang bersertifikat IMB dan lahannya bersurat SHM (Sertifikat Hak Milik) dengan harga sekian ratus juta rupiah, ruang-ruang andalan, dan jaminan balik nama ditanggung pemilik asal (bukan pembeli) di Balikpapan Utara.
Makelar semacam dia, sepengetahuan minimalis saya, bukan baru pertama saya temui. Mereka selalu mengandalkan salinan surat dan omongan (obrolan).
Salinan surat atau sertifikat dibawa ke mana-mana, dan berusaha meyakinkan pemahaman para calon pembeli dengan gambaran (visual) yang terbatas ilusi. Padahal, yang dijual bukanlah ilusi atau sekadar kata-kata dan kertas-kertas (sertifikat).