Era digital berlayar kaca memang sudah merambah hingga pelosok. Beberapa media kertas pun mengalami masa senjakala alias “gulung kertas”. Ada juga himbauan untuk melestarikan hutan demi bumi yang hijau.
Sementara buku konvensional masih berjaya dan tetap tekun berdaya-upaya sebagai media baca yang bergelar “jendela budaya”, meskipun sebagian orang telah beralih ke e-book alias “buku elektronik” karena memuja “dewa digital”. Tidak ketinggalan juga kemunculan bisnis penerbitan buku, bahkan penjualan buku secara online, semisal yang dilakukan oleh Irwan Bajang dan kawan-kawan dengan komunitasnya bernama Jualan Buku Sastra (JBS).
Membuat Buku Konvensional di Era Digital, Memangnya Kenapa?
Terserahlah ketika sebagian orang masa kini telah menggembar-gemborkan era digital dengan buku yang berteknologi mutakhir (e-book) lantas ‘menghakimi’ bahwa buku konvensional sudah kuna–tidak up to date alias ketinggalan zaman. Kenyataannya, sebagian pembaca, penulis atau kreator seni berbahan kertas masih menjadikan buku sebagai bahan bacaan (referensi-informasi budaya) yang tetap dicari. Kenapa, ya?
Sepakat atau tidak; diakui atau ditolak, buku atau media kertas memang memiliki keunggulan tersendiri. Mudah dibawa ke mana-mana jika hanya berjumlah tertentu. Tidak tergantung pada perangkat bantu lainnya, semisal listrik. Kemudahan semacam ini bisa memberi kesempatan membaca dengan durasi waktu lama untuk dibaca.
Waktu lama juga berkaitan dengan keawetan, kecuali ‘musuh bebuyutan’ berupa kutu buku, rayap, tikus, dan lain-lain. Buku konvensional bisa melampaui zaman (abadi), dan tidak terganggu oleh persoalan sinyal elektromaknetik.
Dengan keunggulan pertama ini, pembaca tidak perlu memerbarui teknologi karena buku tidak berubah dan tidak memerlukan perangkat teknologi yang selalu berubah. Hal ini pun bisa dibandingkan dengan kerentanan virus teknologi yang sering mengincar data (harrdisk, flashdisk, dll.) atau perubahan digital (masih ingat rumor perubahan angka digital tahun 2000-an atau Y2K?).
Keunggulan kedua, buku itu anti-gores dan anti-pecah. Permukaan keras-agak runcing di sekitar buku bukanlah ‘musuh diam-diam’. Apabila tiba-tiba jatuh (mungkin karena si pembacanya mengantuk), buku tidak mengalami goresan bahkan pecah yang fatal. Pembaca (pemilik buku)tidak perlu khawatir apabila tertindih, terinjak, terjatuh (terbanting), dan seterusnya.
Keunggulan ketiga, mata manusia sangat ‘bersahabat’ dengan buku konvensional (berbahan kertas). Buku tidak memncarkan radiasi cahaya yang bisa ‘melawan’ mata bahkan ‘merusak’ mata. Tentunya berbeda dengan layar kaca yang memang memancarkan enerji cahaya dari enerji listrik. Buku tidak menimbulkan ‘kelelahan’ mata, kecuali menjadi “obat tidur” alternatif.
Keunggulan keempat, buku konvensional belum menjadi obyek pencurian konvensional. Pada umumnya pencuri tidak menyukai buku karena buku tidak cepat dijual. Sebuah buku yang tergeletak akan dibiarkan oleh seorang pencuri. Tentu saja berbeda dengan laptop, tablet, smartphone, televisi, dan alat berteknologi mutakhir lainnya.
Barangkali masih ada keunggulan-keunggulan selanjutnya. Silakan saja Sidang Pembaca menambahkannya.