Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Masker, Mana Masker?

3 Maret 2020   17:47 Diperbarui: 3 Maret 2020   18:08 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Anna Shvets from Pexels

Masker merupakan salah satu perlengkapan kesehatan yang sedang sangat dibutuhkan oleh banyak orang di mana saja, bahkan luar negeri, pasca-merebaknya virus corona asal Kota Wuhan China yang berkode covid-19 pada akhir Januari lalu. Saking sangat dibutuhkan, benda penyaring udara yang terpasang di mulut dan hidung mengalami kelangkaan, kenaikan harga, kesembronoan berbisnis, dan sebagian malah kepalsuan.

Kelangkaan karena aksi borong, baik untuk "ditimbun", dijual lagi, maupun persiapan untuk diri sendiri pasca-informasi dua pasien terjangkit covid-19 di Depok Jawa Barat pada 2/3. Serta-merta disambut hukum ekonomi, "Sedikit barang, banyak permintaan, maka harga pun naik."

Situasi pasca-merebaknya covid-19 di lebih 50 negara menjebol kekebalan Indonesia dengan dua pasien yang diumumkan dan kelangkaan itu, tidak disia-siakan oleh oknum pemalsu atau pengusaha masker kaleng-kaleng. Ya, didukung pula dengan hanrga masker yang bisa mencapai 1000 kali lipat dari harga biasa.

Masker memang mendadak menjadi barang dagangan yang menjanjikan keuntungan besar pada situasi semacam ini.  Dua mahasiswa  di Makassar pun dengan sigap menyiasati situasi untuk berbisnis, tetapi pengiriman 200 kotak yang masing-masing berisi 50 masker ke New Zealand akhirnya digagalkan oleh pihak kepolisian setempat.   

Antara kebutuhan berlandaskan kecemasan atau malah kesempatan emas dan situasi darurat bersebaran covid-19, membuat sebagian orang tidak lagi menutup mulut-hidung, tetapi juga mata-telinga. Apakah memang situasi darurat atau justru akibat dari kecemasan luar biasa menjadikan masker menjadi barang "wajib"?

Persoalannya, kebutuhan masker bukanlah akibat dominasi atau monopoli kabar tentang covid-19 di Indonesia, tetapi juga ada situasi darurat lainnya yang sangat membutuhkannya. Pada 3/3 di sebagian wilayah Jawa Tengah bagian selatan terjadi hujan abu dari erupsi Merapi 2/3.

Sebagian warga di Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo dan Surakarta sedang membutuhkan masker, tetapi mereka hanya mendapatkan kelangkaan. Tentu saja aktivitas banyak orang di sana terganggu, bahkan pernapasan bisa terpapar abu vulkanik.

Pada situasi darurat antara merebaknya covid-19 dan hujan abu vulkanik di sebagian wilayah Jateng sewajibnya menjadi perhatian penting bagi masyarakat luas. Mungkin kepekaan atas krisis situasional (Sense of Crisis) berlandaskan kemanusiaan universal sewajibnya didayagunakan dengan setajam-tajamnya dalam pengelolaan skala prioritasnya dari rencana dan tindakan. Mungkin lho, ya?

*******

Beranda Khayal, 3-3-2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun