Senin, 24/2 saya memberi keleluasaan pada istri saya untuk pergi dalam waktu lama dan membantu kesibukan kawan karibnya di rumah mereka. Ibu kawannya meninggal dunia. Tiga hari berturut-turut saya berikan sepenuhnya keleluasaan itu. Â
Ketika bapak istri saya meninggal pada siang hari (21/3/2013), istri saya juga menyibukkan diri dengan persiapan makanan untuk para pelayat. Waktu tidak cukup untuk memasak, maka dipesankanlah langsung pada jasa katering.
Ketika bapak saya meninggal menjelang magrib (11/3/2016), pada malam harinya rumah orangtua berdatanganlah saudara-saudara kami. Sebagian menangis. Sebagian menyiapkan sajian. Ada pula makanan-minuman yang datang.
Mengapa ada perjamuan besar di rumah duka? Bukankah situasi sedang berduka, kok malah sibuk menyiapkan acara makan-makan? Paradoks nian realitas ini, 'kan?
Kenyataan hidup memang senantiasa menyuguhkan situasi yang paradoks, khususnya kematian. Saya pun menangis, lalu pagi-pagi berangkat dari Balikpapan menuju Sungailiat, bahkan terlambat di Bandara Sepinggan sehingga harus membeli tiket baru. Mau berhitung untuk kematian, ya?
Sampai di rumah Sungailiat sebelum pkl. 12.00, saya menangis di depan jenazah bapak saya. Sejak mulai memahami hati Bapa, saya selalu memandang bapak saya sebagaimana mestinya, meskipun saya paling bandel di antara saudara saya.
Sementara situasi di rumah sedang ramai. Sebagian saudara saya suntuk di dapur hingga ke ruang terbuka di sebelahnya. Mereka masak-memasak. Hidangan untuk para pelayat pun sudah tersiapkan di meja panjang.
Paradoks, 'kan? Ada yang berduka dengan tangisan. Ada yang bersuka dengan sajian. Benarkah paradoks?
Entah mengapa, sebagian orang hidup suka membanding-bandingkan antara suatu peristiwa duka dan kebiasaan perjamuan alias makan-makan dalam satu waktu bersamaan, bahkan berhitung-hitung. Entah mengapa pula, sebagian orang hidup bisa mendadak lupa bahwa tuan rumah duka juga tidak membiarkan para pelayat kelaparan.
Bagi saya, banding-membandingkan sampai hitung-menghitung juga merupakan realitas yang paradoks dalam keimanan. Lho, paradoks apanya?
Begini. Sebagian orang beriman selalu yakin sekali hingga menepuk dada bahwa kalau mati pasti masuk surga. Sebagian pemuka agama pun meyakini itu, 'kan?