Paradoksnya, ketika kematian merupakan suatu gerbang keabadian yang diyakini "masuk surga", mengapa sebagian orang malah berduka seolah-olah orang yang mati justru "masuk neraka". Kalau yakin bahwa "mati pasti masuk surga", mengapa sebagian orang hidup dan beriman justru menentang "perjamuan besar" di rumah duka?
Saya sendiri sempat bingung pada situasi paradoks semacam itu, apalagi sebagian orang beragama segera menyuguhkan dalil-dalilnya. Duka dan suka dalam satu waktu bernama kematian, tetapi perjamuan besar alias makan-makan hanya dihakimi secara sempit bin picik sebagai ungkapan bersuka-suka.
Apakah sebenarnya mereka tidak bersuka jika orang yang meninggal itu memang "masuk surga"? Atau, bagaimana?
Daripada merepotkan diri dengan memikirkan keimanan orang lain yang jelas paradoks, lebih baik saya memikirkan hal-hal yang sewajarnya saja, termasuk membiarkan istri saya menyibukkan diri dengan melayani kawan karibnya. Kalau memang di rumah duka juga tersiapkan perjamuan besar alias makan-makan sampai sekian hari, biarkan sajalah. Toh keluarga di rumah duka tidak pernah menangisi perjamuan besar dengan perhitungan biaya seberapa pun dalam satu waktu itu.
*******
Beranda Khayal, 3-3-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H