Kembali ke rutinitas di kebun sayur merupakan kenyataan selanjutnya bagi Hi Jat Nen alias Anen setelah merayakan Imlek 2571 Kongzili (25 Januari) dan pesta kembang api (27 Januari). Profesi sebagai pekebun sayur ini juga merupakan pilihan sebagian tetangganya di Kampung Jalan Laut, Sungailiat yang mayoritas (99 %) warganya beretnis Tionghoa.
Sebidang lahan dengan luas 30 m X 30 m terletak di seberang jalan buntu belakang rumah orangtuanya menjadi medianya. Jaraknya pun hanya sekitar 200 m dari bibir pesisir, dan tidak jauh dari kawasan wisata pantai Puri Ansell (dulu: Batavia Beach), Tongaci, dan De Locomotief.
Selama 20 tahun pula Anen telah mencoba menanam beberapa jenis tanaman sayur sampai akhirnya ia memilih satu jenis saja, yaitu sawi hijau. Pilihan ini, tentu saja, berdasarkan pada keuntungan, baik sejak proses maupun harga jual.
Alasan pertamanya adalah sawi bisa ditanam pada musim kemarau maupun penghujan. Memang, ketika musim kemarau, ia menyiram sawi sebanyak tiga kali sehari. Kalau hanya mendung, biasanya dua kali per hari.
Air tidak lagi menjadi kendala baginya. Awalnya ia masih mengusung air secara manual dari rumahnya, tetapi kemudian bisa menggunakan sumur bor, pompa bahkan dua buah, dan selang.
Alasan ketiganya adalah suhu udara di lahannya. Suhu di sana sekitar 32C. Dengan suhu yang cukup tinggi, sawi bisa bertumbuh dengan optimal.
Alasan keempatnya adalah pengolahan tanah yang mudah. Dengan kondisi pasir, ia lebih mudah dalam pembolak-balikan tanah/pasir untuk proses penggemburan, pengudaraan, dan proses kimiawi tanah yang dibuatkan bedengan dengan tinggi 0,20 m, panjang 18 m, dan lebar 1,3 m, yang jumlahnya bisa sekitar 18 bedengan.
Alat utamanya berupa cangkul. Akan tetapi, gagangnya bisa mencapai 2 m. Dengan gagang sepanjang itu Anen tidak perlu mencangkul sambil membungkuk, dan daya jangkaunya lebih jauh.