Rekan saya yang bertugas di bagian persiapan lokasi malah dijadikan oleh developer itu sebagai "konsultan teknik"-nya. Gambar perencanaan cut and fill hingga kavling-kavling dalam setiap blok berikut perubahan rencana, dll., dikerjakan oleh rekan saya, padahal rekan saya berada di pihak kontraktor.
Bos-nya developer dan dua-tiga anak buahnya bisa langsung berkomunikasi, dan berkoordinasi sekaligus memberi instruksi pada rekan saya. Rekan saya lembur atau tidak, sama sekali tidak dalam pemantauan kami, padahal gajinya dibayar oleh atasan kami (kontraktor).
Selain itu, saya mengalami beberapa komunikasi-koordinasi yang tidak biasa. Contohnya saya "ditegur" oleh seorang anggota developer tadi (pertama), "ditegur" oleh bos developer, "dicecar" pertanyaan oleh menantunya bos developer hingga nomor ponsel saya pun dimintanya, dan seterusnya.
Ditambah dengan aneka instruksi melalui ponsel. Bos developer bisa menghubungi mandor kami untuk sebuah instruksi pekerjaan, alat kerja, pengelolaan tenaga kerja (man power) di lapangan, dan seterusnya. Aduhai sekali, 'kan?
Kelima, tidak ada jadwal rapat (meeting) reguler, semisal rapat mingguan. Setiap kali bos developer datang ke lokasi, seketika terjadi obrolan seakan-akan "rapat", termasuk soal koordinasi "keamanan" (preman setempat). Ya, beberapa preman lokal langsung saja hadir.
Keenam, tidak ada ruang-ruang untuk keperluan khusus. Developer menyewa sebuah ruang depan rumah seorang warga dengan ukuran 2,5 m X 3 m untuk ruang pemasaran, ruang kerja staf lainnya, dan ruang rapat "mendadak" (tergantung kapan bosnya datang).
Lucunya, kursi yang saban hari diduduki oleh seorang petugas pemasaran juga menjadi kursi bos developer ketika datang dan memberi instruksi atau berkoordinasi dengan pihak mana pun. Apakah itu biasa untuk sebuah developer yang "berpengalaman"? Â Â
Perlu Belajar tentang Hal-hal yang Tidak Biasa
Saya kira cukup sampai keenam itu saja. Barangkali masih banyak lainnya yang belum saya tuliskan ataupun temukan di lokasi. Intinya adalah saban hari saya diperhadapkan dengan realita yang "tidak biasa", dimana "developer berasa kontraktor" dan "kontraktor berasa mandor bahkan kuli".
Sementara saya belum melihat sendiri mengenai kontrak kerjanya, dan mekanisme pembayaran terhadap hasil kerja kami. Mungkin saya akan menemukan hal-hal yang "tidak biasa" lainnya. Jangankan soal itu, keenam realitas di lapangan saja sudah berasa "tidak biasa" bagi saya. Â
Saya pun berpikir bahwa developer semacam ini kok bisa ada di daerah yang sangat akrab dengan barometer pembangunan berkelas nasional. Kok seperti sebuah developer di Kupang tempo tahun, ya? Kok ada, ya, developer yang "berasa" begini?
Aka tetapi, apa pun "berasa"-nya, suka-tidak suka, saya "wajib" menerima kenyataan tersebut. Mungkin memang begini developer satu ini. Mungkin ini merupakan pengalaman baru, dan saya masih perlu belajar lagi. Toh, saya hanya bawahan bosnya kontraktor, dan belajar itu berlangsung selama hayat masih dikandung badan, 'kan?