Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sebuah Developer yang Tidak Biasa

10 November 2019   16:37 Diperbarui: 10 November 2019   16:58 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sebuah Developer yang Entahlah
Menurut cerita rekan saya, developer ini bukan pendatang baru, dan proyek pengembangan yang berupa perumahan "bersubsidi" (sebagian kecil saja), "komersial" (ada rukonya) ini adalah kali kesekian saja. Beberapa kawasan pengembangan serupa sudah dibuat, dan sukses. Intinya, developer yang biasa-berpengalaman deh.

Semula saya berpikir bahwa developer dan realitas di lapangan memang sama seperti anggapan rekan saya, apalagi biasa di kota-kota besar ini. Developer yang biasa alias biasa dengan pengalaman mumpuni, termasuk perihal prosedur-mekanisme pekerjaan yang memadai berikut sumber daya manusia yang mumpuni.

Akan tetapi, belum sampai satu minggu bekerja, saya menemukan hal-hal yang "tidak biasa" sehingga saya terheran-heran sendiri. Oh iyakah?

Pertama, gambar kerja (shop drawing). Sejak hari pertama hingga hari ini saya tidak dibekali segepok gambar kerja. Ketika seorang anggota developer "menegur" hasil pekerjaan kami dengan foto hasil pekerjaan, saya langsung menanyakan perihal gambar kerja yang cukup memadai. Oknum pensiunan aparat itu kebingungan sendiri.

Ada juga, suatu waktu dalam sebuah "rapat" langsung, saya diminta oleh bos developer untuk mengajukan gambar kerja berupa sebuah struktur setelah saya menerima gambar sebelumnya dari atasan saya. Tidak hanya selembar gambar kerja, tetapi berikut perhitungan biayanya.

Pada saat bersamaan, bos developer sendiri yang membuat gambar rencana untuk pekerjaan selanjutnya. Dengan gemetaran karena usianya yang uzur, si bos menarik pena dengan bantuan sebilah penggaris. Kok tidak ada orang tekniknya, ya?  

Kedua, tidak ada uraian pekerjaan, jadwal pekerjaan (time schedule), apalagi segala yang terkait dengan perencanaan, termasuk rencana anggarannya. Saya kebingungan sendiri ketika memikirkan hal progress dengan bobot pekerjaannya. 

Saya pernah menanyakan hal pertama dan kedua tadi, baik pada atasan saya maupun seorang pengawas teknis lapangan dari pihak developer. Ternyata memang tidak ada. Aduhai deh!

Ketiga, developer tidak bekerja sama dengan konsultan teknik. Ya, dengan ketiadaan kedua hal tadi serta realitas di lokasi pekerjaan, jelas sekali ketiadaan konsultan ini.   

Lokasi pekerjaan dengan kondisi tanah yang kurang kondusif, baik kekuatan maupun permukaannya, bukanlah persoalan sepele. Ketika pekerjaan cut and fill dilakukan, tentu saja, ada pekerjaan sebelumnya, yaitu tanggulan (turap; siringan), bahkan dengan ketinggian cukup signifikan dari kemiringan lahan itu.

Keempat, developer tidak memiliki struktur organisasi lapangan, terutama tim kerja yang memadai, apalagi mumpuni. Tidak ada koordinasi yang jelas, baik antarpersonal internalnya maupun dengan pihak kontraktor (kami).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun