Saya kembali membaur dalam keramaian sekaligus kemacetan lalu-lintas kendaraan sejak 24/10 sore, meski di pinggiran Jakarta. Cukup beberapa jam setiba di sini, sekujur tubuh benar-benar membaur seutuhnya.
Seberapa pun ramai dan macetnya Balikpapan atau Kupang, apalagi Pangkapinang atau Sungailiat, tidaklah mampu menandingi daerah pinggiran Jakarta. Di kedua kota yang jauh dari Jakarta itu, keramaian ataupun kemacetan yang tidak seberapa parah itu saja selalu memunculkan geram dan gerutu warganya.
Daerah Tujuan Perbaikan Ekonomi
Jakarta hingga daerah sekitarnya memang selalu menjadi tujuan bekerja bagi banyak orang luar. Sejak 1980-an kota-kota satelit dibuka selebar-lebarnya dengan industrialisasi agar tidak semuanya tumpah-ruah di Jakarta.
Selama tahun-tahun itu pun beberapa orang Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat atau Dusun Clepor Karanganyar sudah menjadikan Jakarta dan sekitarnya sebagai daerah tujuan bekerja atau perbaikan nasib. Hijrah untuk memperbaiki nasib itu biasa saja, 'kan?
Saya, sih, maklum. Semakin banyak orang yang datang dan berdesakan, semakin bertambah pula peluang usaha, baik barang maupun jasa, di sana. Bahkan, bukan hanya kalangan berpendidikan tinggi dengan segala ilmu berbasis Ekonomi Manajemen, kalangan berpendidikan rendah pun mampu menemukan ceruk pasar untuk memperbaiki perekonomian mereka, bahkan bersaing di segala lini.
Ya, benarlah peribahasa usang, "Di mana ada gula, di situ ada semut". Semakin banyak orang, semakin lebar peluang usaha.
Semula Bukan Daerah Tujuan Perbaikan Ekonomi
Saya tidak pernah menjadikan Jakarta atau daerah sekitar sebagai daerah tujuan bekerja atau memperbaiki perekonomian saya. Sebaliknya, saya sering menghindar atau sekadar menumpang lewat antara Sungailiat-Yogyakarta , karena Jakarta dan sekitarnya terlalu sumpek.
26 April 2006 sampai 8 Maret 2009 saya bekerja di Jakarta berawal dari permintaan beberapa orang Bangka yang tinggal di Jakarta. Saya tidak pernah melamar pekerjaan pada mereka, tetapi sebelumnya ada pertemuan di Sungailiat yang kemudian mewajibkan saya untuk berada di ibu kota.
Ya, tuntutan profesi dan realitas-lah yang mampu menyeret saya sampai ke Jakarta yang juga merupakan ibu kota keramaian sekaligus kemacetan Indonesia. Terpaksa atau tidak, dalam diri saya ada naluri petualang, sehingga saya menerima diri saya diseret-seret sampai Jakarta.
Keramaian dan kemacetan sudah saya alami dengan menunggangi motor seorang diri. Dari Kompleks Penerangan Jakbar sampai daerah Rawa Buaya Cengkareng. Dari Kompleks Penerangan sampai kawasan Pantai Indah Kapuk Jakut. Bahkan, pernah, dari Sentul Bogor sampai ke Kompleks Penerangan.
Karena bukan daerah tujuan bekerja, pada 8 Maret 2009 saya pun meninggalkannya. Di tempat yang baru, tidak pernah terjadi keramaian sekaligus kemacetan setiap hari seperti di Jakarta dan sekitarnya, kecuali libur hari raya.