Melalui media daring (online) saya mengikuti sebagian kabar mutakhir seputar polemik Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), terpilihnya pimpinan baru KPK, dan seterusnya. Perihal korupsi, termasuk ramainya "Cicak Vs. Buaya, 6/7/2009" dan "Rekening Gendut, 29/6/2010", memang seringkali "menggoda" saya untuk menulis.
Pada jumpa pers itu Jokowi menyebut empat poin penolakannya. Adapun keempat poin itu adalah sebagai berikut.
Pertama, tidak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar ketika ingin melakukan penyadapan. Menurut Jokowi, KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.
Kedua, tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Menurut Jokowi, penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN) yang, tentu saja, harus melalui prosedur rekrutmen yang benar.
Ketiga, tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan. Menurut Jokowi, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.
Keempat, tidak setuju pengalihan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari lembaga antirasuah kepada kementerian atau lembaga lainnya. Menurut Jokowi, LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini.
Masih melalui kabar di media-media daring, beberapa jam sebelumnya, yaitu dini hari (Jumat, 12/9), di gedung DPR, Senayan, Jakarta Komisi III DPR RI telah memilih lima nama Pimpinan baru KPK untuk periode 2019-2023. Pemilihan Pimpinan KPK dilakukan setelah para Anggota Komisi III melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) kepada 10 calon pimpinan (capim) KPK yang diserahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Â
Kelima pimpinan baru itu ialah Firli Bahuri (56 suara), Alexander Marwata (53 suara), Nurul Ghufron (51 suara), Nawawi Pomolango (50 suara), dan Lili Pintauli Siregar (44 suara). Dengan begitu Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Firli Bahuri secara resmi ditetapkan sebagai Ketua KPK.
Salah satu pihak pengamat non-pemerintah yang terkait itu adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga nirlaba ini terbentuk pada 21 Juni 1998 di Jakarta, dimana salah seorang pembentuknya adalah Teten Masduki yang pada 2 September 2015 s.d. 17 Januari 2018 menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia.