Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Biarkanlah Para Urban-Lajang Bermimpi dalam Sleep Box Minimalis Itu

5 September 2019   03:55 Diperbarui: 5 September 2019   12:09 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Irwandi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke indekos ala sleepbox di Jalan Rawa Selatan V, Johar Baru, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2019). Indekos ala sleep box tersebut belum memiliki izin usaha ke Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kelurahan Kampung Rawa.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Beberapa waktu ini mendadak viral dengan berita tentang sebuah indekos di Jalan Rawa Selatan V, No. 14, RT 18/RW 4, Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat berisi ruang tidur berukuran kecil, yaitu 2 x 1. Mirip ukuran lubang kubur, ya?

Ya, tidur dan mati memang mirip. Badan rebah, dan tidak perlu banyak gerak.

Istilah yang juga tenar adalah "Sleep Box". Mungkin terjemahan bebasnya adalah "kotak tidur". Ada media yang memadankannya dengan istilah "kos kotak", "kamar kos", dan lain-lain.

Meskipun secara khusus dan esensi sebagai tempat untuk tidur saja, indekos yang berisi 82 "Sleep Box" tersebut dilengkapi dengan aneka fasilitas yang kekinian di ruang lainnya. Jaringan internet (Wifi) gratis, mesin cuci, tempat parkir, dan lain-lain.

Berawal dari Jepang
Indekos yang murah-meriah itu dirancang sendiri oleh pemiliknya, yaitu Sunang Kori. Menurut seorang penjaga bernama Shinchan, rumah kos tersebut meniru hotel kapsul di Jepang.

Ketenaran "Sleep Box" memang dimulai dari Tokyo Jepang melalui sebuah hotel kapsul yang bernama Menara Kapsul Nagakin (Nagakin Capsule Tower) pada 1972. Arsiteknya bernama Kisho Kurokawa.

Landasan konsepsual arsitek tergolong legendaris di Negeri Sakura itu adalah budaya kerja di Jepang. Tuntutan dunia kerja yang tinggi. Jam kerja yang padat. Waktu istirahat yang singkat. Jadwal dan pilihan moda transportasi yang terbatas serta tidak murah sehingga para pekerja kesulitan pulang ke rumah masing-masing.

Hotel kapsul itu memang semula untuk istirahat singkat atau sekian jam setelah lembur tetapi tidak pulang. Jadilah sebuah ruang sekadar untuk melepas penat.

Dari ibu kota Jepang berlanjut ke luar, misalnya Osaka dan Kyoto, bahkan ke negara Asia lainnya, Eropa, Amerika Latin, dan lain-lain. Meskipun bentuk, warna, model, dan ukurannya berbeda, toh, sumber inspirasinya adalah hotel kapsul-nya Kisho Kurokawa.

Antara Kamar Tidur, Tempat Tidur, dan Kamar Kos
Dalam pemahaman saya, kamar sepadan dengan room, dan ruang/tempat sepadan dengan space. Contoh yang jelas, yaitu kamar tidur (bedroom), dan tempat tidur (bed), semisal ranjang.

Sleep Box (kotak tidur) identik dengan tempat tidur (bed). Kalau sleep box dipadankan dengan kamar kos, mungkin keliru. Mungkin lho, ya?

Kamar kos justru identik dengan kamar tidur (bedroom). Standar ukuran (dimensi) sebuah kamar tidur yang normal-umum minimal 3 x 3 x 3 meter persegi. Perabotannya, biasanya, berupa sebuah tempat tidur (ranjang atau kasur saja), sebuah lemari, sebuah meja tulis, dan sebuah kursi

Nah, kalau tempat tidur wajib disamakan dengan kamar tidur, tentu saja, keliru. Lebih keliru lagi jika tempat tidur kaum urban semacam pengendara ojek online (ojol) diwajibkan berukuran kamar tidur umumnya, bahkan kamar tidur pejabat.

Tidur atau Beristirahat
Selain melakukan sesuatu (beraktivitas), tidur juga merupakan bagian keseharian manusia. "Sleep Box" memang hanya untuk tidur atau istirahat saja. Minimalis, 'kan?

Yang disewa oleh penghuni yang dari kalangan pekerja di indekos daerah Johar Baru ini memang hanya "Sleep Box" dengan harga Rp50.000 per hari, dan Rp300.000 atau Rp400.000 per bulan. Kamar mandi, ruang televisi, dan ruang-ruang lainnya menjadi fasilitas untuk bersama.

Maksud saya, aktivitas paling esensial-elementer adalah tidur. Dan. meski ada harga per hari, tetap saja penghuninya seperti anak kos. Berbeda dengan sebutan penghuni atau penyewa hotel kapsul, 'kan?

Standar Apa dan Bikinan Siapa
Saya tidak perlu repot untuk meragukan kapasitas arsitek legendaris Negeri Sakura itu dalam konsep perancangannya. Dan, meskipun Sunang Kori meniru konsep Kisho, ukuran "Sleep Box", yaitu 1 x 1 x 0,9 atau 1 x 1,25 x 0,9 meter persegi yang diterapkannya bukanlah tanpa landasan teoretis.

Salah satu "kitab suci" sebagian arsitek adalah "Data Arsitek" karangan Ernst Neufert. Saya menyebutnya "kitab suci", karena buku ini selalu menjadi buku acuan/rujukan bagi kalangan arsitek atau calon arsitek yang belajar di perguruan tinggi. Hal ini berarti bahwa hasil kajian yang terukur, tergambar dan terstandar sudah sahih atau tidak diragukan lagi.

Buku ini juga berisi dimensi (luasan) ruang gerak atau diam manusia, baik sendirian maupun dengan manusia lainnya. Orang duduk bersila, orang menekuk lutut, orang berdiri, orang tidur, orang berjalan, dan lain-lain sudah tergambar dan terukur secara jelas.

Berkaitan dengan "Sleep Box", dimensi ruang (space) untuk manusia tidur sudah tertera secara gamblang. Ukuran ruang "Sleep Box" sudah sesuai dengan standar arsitektural.

Ukuran (dimensi) arsitektural yang dari ukuran anatomi Eropa itu ialah:

  1. Lebar duduk bersila adalah 75 centimeter
  2. Panjang tempat tidur adalah 200 centimeter
  3. Rata-rata tinggi atau panjang manusia adalah 187,5 centimeter
  4. Ketika duduk di tempat tidur tinggi sampai kepala adalah 87,5 centimeter dan 
  5. Tinggi punggung ketika merangkak adalah 75 centimeter.

Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sumber : Ernst Neufert
Sekali lagi, patut diingat, bahwa gagasan (ide) pembuatan "Sleep Box" berasal dari arsitek Jepang. Selain Kisho Kurokawa, Negeri Sakura ini sudah menghasilkan arsitek-arsitek berkaliber dunia, misalnya Tadao Ando, Kenzo Tange, dan lain-lain.

Relevan di Kota Besar untuk Kaum Urban-Lajang
Pemahaman usang saya adalah bangunan vertikal merupakan jawaban atas keterbatasan dan tingginya harga lahan yang kian padat-sempit dalam sebuah kota besar. Tak ayal banyak bangunan bertingkat tinggi di kota-kota besar.

Pemahaman usang terkait adalah standar normal-umum untuk luasan (dimensi) yang dibutuhkan oleh para pendatang yang masih lajang. 3 x 3 x 3 meter persegi untuk satu orang. Tak pelak hal ini berdampak pada vertikalitas bangunan, 'kan?

Dengan adanya indekos berisi "Sleep Box", kaum urban-lajang justru bisa ditampung lebih banyak lagi oleh sebuah bangunan di kota besar. Toh, sudah ada contohnya, yaitu indekos di Johar Baru tadi.

Pemahaman terkini saya pun bisa bertambah mengenai fasilitas sebuah kota bagi kaum urban-lajang. Itu pun fasilitas tempat tinggal yang paling minimalis, bahkan sementara (status "Belum Menikah" dalam KTP alias lajang).

Realitas di Johar Baru juga menunjukkan bahwa tipe hunian paling minimalis semacam itu ternyata sangat diminati oleh kaum urban-lajang. Dengan kemampuan kantong yang terbatas, mereka masih bisa menikmati sebuah kemerdekaan paling esensial-elementer, yaitu tidur.

Dan, kembali ke fungsi utama sebuah ruang atau tempat tidur, yaitu ruang yang berfungsi untuk tidur. Dengan ukuran yang tetap sesuai dengan standar arsitektur, aktivitas di dalamnya pun dikembalikan pada esensinya, yaitu untuk tidur.

Manusiawikah?

Lho, tetap manusiawi jika memang fungsinya untuk tidur. Berbeda kalau tempat untuk tidur malah "dijejali" lemari, meja tulis, tempat sepatu, lemari es mini, dan segala perabot yang biasa berada dalam sebuah kamar kos, 'kan?

Oleh karenanya biarkanlah kaum urban-lajang itu bisa menikmati mimpi minimalis dalam nyenyak bertabur mimpi indah yang menjadi hak siapa saja.

Saya tidak perlu repot memikirkan perihal layak-tidak layak menurut standar kebutuhan esensial setiap orang untuk sebuah ruang/tempat tidur, apalagi kalau semua "wajib" diseragamkan. Saya, sih, memaklumi saja terhadap kebutuhan paling hakiki itu, bukannya keinginan kebanyakan orang atau pihak lain yang "tidak" atau "belum" terbiasa dengan ruang/tempat tidur berukuran paling minimalis.

*******
Kupang, 5 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun