Ramadan 1440 H atau 2019 M ini berbeda sekali dengan yang biasa saya alami, karena sejak 8 Mei malam saya berada di Kupang. Di Ibu Kota NTT mayoritas penduduknya adalah non-Muslim. Saya pun non-Muslim.
Seperti tahun lalu saya tinggal sementara di kantor IRGSC yang bersebelahan langsung dengan rumah gubernur NTT, dan menikmati Kota Karang dengan, terkadang, membeli jajanan untuk sarapan.Â
Salah satunya di sebuah toko kecil milik tetangga yang berasal dari Bone, Sulsel, dan Muslim. Pisang goreng dan bakwan (ote-ote, bala-bala alias bakwan jawa), atau kudapan lainnya yang merupakan titipan tetangganya.
Terkadang juga saya pergi ke sebuah warung yang berada di depan sebuah rumah sakit besar milik swasta. Tentu saja jajanan sarapan (kudapan) di warung milik warga Muslim itu terbilang cukup variatif. Yang penting, sekitar pkl. 07.00 WITA saya segera ke situ, karena kudapannya masih hangat, dan banyak. Kalau agak siang, saya pasti akan membawa pulang sebungkus kekecewaan.
Ya, sebagai non-Muslim, saya bisa leluasa mencari jajanan di sekitar tempat tinggal sementara saya. Warung-warung milik pendatang dan Muslim pun buka seperti biasa. Di jalan-jalan saya bisa dan biasa melihat orang sedang menikmati minuman atau makanan.
Meski begitu, suara ajakan sahur atau azan Subuh selalu saya dengar ketika saya masih lembur (merencana, merancang, dan menghitung anggaran bangunan, sebelum menindaklanjuti dalam pelaksanaan pembangunan). Hanya saja tidak ada ceramah panjang seperti ketika berada di Balikpapan, Kaltim, pada setiap bulan Ramadan.
Sementara kawan saya, si Penyair Ragil Sukriwul, tidak pernah muncul di markasnya (IRGSC) selama masa puasa. Maklumlah, dia Muslim, dan sedang menikmati bulan puasa dengan aduhai. Beberapa kali malam barulah dia muncul.
Suasana semacam ini berbeda sekali dengan yang pernah saya alami. Pertama, di kampung halaman saya, Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel yang berpenduduk mayoritas Muslim, dan sebuah masjid yang berjarak tujuh rumah saja dari rumah kami.
Masa kecil dan remaja saya dipuaskan oleh suasana puasa yang aduhai sekali dengan dentum lelo (leduman; meriam bambu), teriakan sekaligus gurauan para penggugah sahur, obor dengan sorak "likur! likur!" dari anak-anak di sepanjang jalan kampung, dan lain-lain. Mungkin itulah suasana bulan Ramadan yang paling aduhai dalam sejarah hidup saya.
Kedua, di indekosan saya, di Yogyakarta. Indekosan pertama (masa SMA) di Langensari (Pengok, Blok POLRI, Balapan), induk semang kami Muslim, dan mayoritas penghuni kamar kos juga Muslim.Â