Benarkah akal sehat dibutuhkan dalam realitas politik Indonesia? Ini hanya sebuah kesangsian, bahkan kejerihan atas realitas politik yang masih dikangkangi oleh sebagian politisi atau elite politik yang berakal sakit. Skeptis atau apatis, ya?
Klaim-klaim sepihak mengenai akal sehat pun mengemuka. Sekelompok orang menuding kelompok lainnya dengan mengagung-agungkan akal sehat. Ya, hanya klaim sepihak untuk menghakimi pihak lainnya.
Klaim sepihak dalam sebuah kelompok sejak Pilpres 2014 yang belum juga "sembuh", apalagi pulih. Akal sehat itu, katanya, ketika menuding pihak lain dengan vonis "dungu" dan "idiot". Akal sehat itu, katanya, ketika bebas mengumbar ujaran kebencian, menghina identitas-etnisitas pihak lain, dan sejenisnya. Akal sehat itu, katanya, dengan menjadi "lawan" terhadap pihak atau kelompok lain, meski masih sesama warga negara Indonesia.
Klaim-klaim sepihak atas nama akal sehat dalam politik praktis di Indonesia selama lebih satu dekade ini justru patut diragukan. Politik praktis Indonesia yang selalu mengemuka ialah merendahkan (mendeskreditkan) pihak lain dan meninggikan pihak atau kelompoknya sendiri. Tidak ada yang lebih bagus-baik-berakal sehat daripada pihak atau kelompoknya sendiri.
Sekian waktu dihabiskan untuk mencari kesalahan, atau menolak kebaikan pihak atau kelompok lain, padahal masih sesama bangsa Indonesia. Dalam politik praktis, akal sehat memang sering menjadi klaim banyak pihak, seolah-olah pihak atau kelompoknya sendiri yang memiliki akal sehat satu-satunya.
Kalangan akar rumput tidak memahami tentang sesuatu di balik semua kegaduhan politik praktis, malah terjerumus dalam persengketaan akal-akalan. Aduhai deh.
Lainnya, perilaku menjilat pada junjungan atau elite tertentu. Apa pun, bahkan salah sekalipun, dibela habis-habisan. Pokoknya, selagi masih dalam pihak atau kelompoknya, tidak ada setitik pun kesalahan, kelalaian, aib, dan sekitarnya. Sebaliknya, jika pihak atau kelompok lain benar atau telah memberi banyak kebaikan, tetaplah jelek, tidak berakal sehat, "dungu", dan "idiot".
Klaim-klaim semacam itu, sepakat atau tidak, justru sebenarnya berasal dari akal sakit. Mengapa begitu? Karena, ketika seseorang terlibat dalam suatu pihak atau kelompok politik, kecenderungannya ialah melakukan pengeroyokan terhadap pihak atau kelompok lain untuk menjatuhkan, dan seterusnya, demi mengambil suatu tempat yang berpengaruh, misalnya kekuasaan atau kekuatan yang mampu melawan pihak lain.
Akal sakit, memang, ketika politik telah menjadi taktik sekian orang untuk saling mempertahankan sekaligus merebut pengaruh yang kemudian menguasai pihak lain bahkan siapa pun di luar pihak atau kelompoknya sendiri. Sementara segelintir lainnya sibuk melampiaskan kerakusan dan mengimbaskan kerusakan.
Begitu, ya, akal sehat digunakan dalam berpolitik praktis yang menganut Machiavellianisme ini? Akal sehat dari klaim pihak atau kelompoknya sendiri, ya? Jangan-jangan, sakit pun diklaim sehat. Jangan-jangan, akal-akalan pun diklaim sebagai akal sehat. Situ sehat?
*******
Balikpapan, 1 Februari 2019 Â