Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bodoh Itu Perlu

2 Januari 2019   20:27 Diperbarui: 2 Januari 2019   22:38 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bodoh bisa disebabkan oleh kemalasan. Malas berpikir lebih jauh-dalam. Malas mencari atau menambah ilmu pengetahuan. Malas berinisiatif. Malas merespons alias masa bodoh. Dan lain-lain penyebabnya.  

Ketika seseorang distempel "bodoh" pada suatu waktu, sebaiknya menyadari diri untuk belajar lagi agar tidak mendapat stempel yang sama pada waktu lainnya. Bukankah seekor keledai pun tidak sudi terperosok ke lubang yang sama?

Belajar lagi bahkan lebih mendalam merupakan respons pribadi yang sangat penting. Respons pribadi ini bersifat diam-diam alias tidak diketahui oleh siapa pun di luar dirinya. Artinya, ada kesempatan untuk memperbaiki cara atau pola berpikir, bahkan ada kesempatan untuk "membuktikan" diri bahwa stempel "bodoh" itu sebenarnya keliru atau justru si pemberi stempel-lah yang bodoh.

Belajar lagi bahkan lebih mendalam inilah yang menjadi alasan "bodoh itu perlu". Tidak seorang pun memiliki ilmu pengetahuan atau wawasan yang paling hebat-sempurna. "Bodoh itu perlu" menjadi peringatan untuk instrospeksi atau justru kelak berubah menjadi "reaksi" atau "serangan balik" yang memalukan bagi si pemberi stempel.

Di pihak pemberi stempel, sebaiknya berhati-hati. Jangan terlalu bernafsu untuk memberi stempel "bodoh" kepada orang lain. Bukan hal yang langka, si pemberi stempel "bodoh" justru bisa dipermalukan oleh orang yang distempelinya sebagai orang bodoh.  

Ya, hidup ini proses yang belum selesai selagi masih bisa berpikir dan beraktivitas seperti biasa orang normal lainnya. Belum tentu seseorang yang distempel "bodoh" itu benar-benar bodoh, dan si pemberi stempelnya benar-benar pintar.

Selain itu, "bodoh" di bidang A, bukan berarti "bodoh" pula di bidang B, C, D, E, dan seterusnya. Tidak seorang pun pintar di segala bidang. "Bodoh" pada waktu kini, bukan berarti "bodoh" pada waktu nanti. Tidak seorang pun pintar di segala waktu dan situasi. Seseorang yang distempel "bodoh" seharusnya tetap optimistis mengenai hal ini.

Tidak jarang, seseorang distempel "bodoh" karena semata-mata tidak sesuai dengan cara berpikir atau "keinginan" (kehendak; nafsu; sujektivitas) si pemberi stempel. Kalau ternyata stempel "bodoh" berdasarkan "nafsu" si pemberi stempel belaka, jelaslah bahwa "nafsu" bukanlah nalar, dan justru itulah kebodohan si pemberi stempel.

Begitu sajalah tulisan dari orang bodoh ini. Semoga tidak membodohi siapa pun.

*******
Balikpapan, 2 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun