Bodoh bisa disebabkan oleh kemalasan. Malas berpikir lebih jauh-dalam. Malas mencari atau menambah ilmu pengetahuan. Malas berinisiatif. Malas merespons alias masa bodoh. Dan lain-lain penyebabnya. Â
Ketika seseorang distempel "bodoh" pada suatu waktu, sebaiknya menyadari diri untuk belajar lagi agar tidak mendapat stempel yang sama pada waktu lainnya. Bukankah seekor keledai pun tidak sudi terperosok ke lubang yang sama?
Belajar lagi bahkan lebih mendalam merupakan respons pribadi yang sangat penting. Respons pribadi ini bersifat diam-diam alias tidak diketahui oleh siapa pun di luar dirinya. Artinya, ada kesempatan untuk memperbaiki cara atau pola berpikir, bahkan ada kesempatan untuk "membuktikan" diri bahwa stempel "bodoh" itu sebenarnya keliru atau justru si pemberi stempel-lah yang bodoh.
Belajar lagi bahkan lebih mendalam inilah yang menjadi alasan "bodoh itu perlu". Tidak seorang pun memiliki ilmu pengetahuan atau wawasan yang paling hebat-sempurna. "Bodoh itu perlu" menjadi peringatan untuk instrospeksi atau justru kelak berubah menjadi "reaksi" atau "serangan balik" yang memalukan bagi si pemberi stempel.
Di pihak pemberi stempel, sebaiknya berhati-hati. Jangan terlalu bernafsu untuk memberi stempel "bodoh" kepada orang lain. Bukan hal yang langka, si pemberi stempel "bodoh" justru bisa dipermalukan oleh orang yang distempelinya sebagai orang bodoh. Â
Ya, hidup ini proses yang belum selesai selagi masih bisa berpikir dan beraktivitas seperti biasa orang normal lainnya. Belum tentu seseorang yang distempel "bodoh" itu benar-benar bodoh, dan si pemberi stempelnya benar-benar pintar.
Selain itu, "bodoh" di bidang A, bukan berarti "bodoh" pula di bidang B, C, D, E, dan seterusnya. Tidak seorang pun pintar di segala bidang. "Bodoh" pada waktu kini, bukan berarti "bodoh" pada waktu nanti. Tidak seorang pun pintar di segala waktu dan situasi. Seseorang yang distempel "bodoh" seharusnya tetap optimistis mengenai hal ini.
Tidak jarang, seseorang distempel "bodoh" karena semata-mata tidak sesuai dengan cara berpikir atau "keinginan" (kehendak; nafsu; sujektivitas) si pemberi stempel. Kalau ternyata stempel "bodoh" berdasarkan "nafsu" si pemberi stempel belaka, jelaslah bahwa "nafsu" bukanlah nalar, dan justru itulah kebodohan si pemberi stempel.
Begitu sajalah tulisan dari orang bodoh ini. Semoga tidak membodohi siapa pun.
*******
Balikpapan, 2 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H