Memang kurang, bahkan mungkin malah tidak manusiawi ketika melibatkan bencana alam dalam kampanye kontestan Pemilu (Pilpres). Bencana alam berdampak duka sebagian orang tetapi dinamika politik bisa dan biasa dimanfaatkan oleh sebagian orang lainnya untuk "menunggangi" duka.Â
Belum masuk masa kampanye saja, semisal gempa Lombok berkekuatan 6,4 SR (29/7/2018), sebagian orang dalam kelompok anti-Jokowi sudah menyebutnya sebagai kesalahan pilihan politik, bahkan azab karena mendukung Jokowi. Ketika Jokowi meninjau daerah gempa sekaligus ke pusat pengungsian (30/7), serta-merta komentar seragam mereka adalah "pencitraan".
Memasuki masa kampanye resmi, gempa berkekuatan 7,7 SR mengguncang Palu (28/9). Lagi-lagi perihal politik dan azab ditujukan pada Jokowi sang petahana (incumbent) bernomor 01. Ketika Jokowi meninjau lokasi sekaligus ke tempat pengungsian (30/9), cibiran "pencitraan" pun bertaburan di kalangan anti-Jokowi. Â
Tsunami Selat Sunda (22/12) pun tidak terlepas dari dakwaan "kesalahan pilihan politik dan azab". Tidak ketinggalan pula, "pencitraan" terhadap kunjungan Jokowi ke sekitar lokasi bencana (24/12), terlebih dengan foto dan video Jokowi yang sendirian di antara puing-puing.
Sepanjang 2018 memang terjadi banyak gempa di Indonesia. Sekitar 11.577 setelah gempa Talaud, Sulut, berkekuatan 7,1 SR (29/12) sampai entah lusa 31 Desember. Di media sosial sebagian orang anti-Jokowi tetapi pro-Prabowo selalu mengatakan bahwa semua bencana terjadi di Indonesia gara-gara Jokowi.
Bencana alam, bagi sebagian kelompok anti-Jokowi, selalu dilibatkan sebagai kampanye "ganti presiden". Dalil-dalil pun disertakan agar kampanye bisa semakin meyakinkan. Bukan mustahil jika kampanye semacam itu akan terus digencarkan hingga April 2019 jika bencana alam masih saja terjadi.
Sebaliknya, bencana alam pun memberi peluang nyata bagi Jokowi untuk "berkampanye". Posisi sebagai petahana yang masih menjabat sebagai presiden justru andil dalam upaya pendekatan secara langsung dengan masyarakat.
Dengan fasilitas negara alias tidak memerlukan biaya besar (berlebihan), perjalanan bisa lancar ke tempat tujuan yang berjarak cukup jauh di seberang. Masyarakat juga bisa mengalami kedekatan secara fisik dengan presiden, yang juga sebagai petahana untuk kontestasi Pilpres 2019.
Kedekatan secara fisik ini niscaya memberi nuansa yang luar biasa bagi masyarakat yang selama ini "jauh" dari jangkauan presiden. Tidaklah mustahil, secara psikologis bisa berdampak pada penilaian "istimewa" masyarakat terhadap petahana.
Apakah hal ini berarti bahwa Jokowi--sebagai petahana sekaligus masih menjabat sebagai presiden--"diuntungkan" oleh bencana alam sana-sini untuk "berkampanye"?
Kembali ke alinea pertama. Memang kurang, bahkan mungkin malah tidak manusiawi ketika melibatkan bencana alam dalam kampanye kontestan Pemilu (Pilpres). Bencana alam berdampak duka sebagian orang tetapi dinamika politik bisa dan biasa dimanfaatkan oleh sebagian orang lainnya untuk "menunggangi" duka.