Teman-teman,
Selamat berjumpa lagi dengan saya. Melalui tulisan ini saya mau menyampaikan sebuah pengalaman yang terkait dengan bangunan, tepatnya rumah tinggal, bersubsidi pula. Harapan saya, Teman-teman tabah ketika membaca tulisan saya ini.
***
Alkisah, pada suatu hari saya mengajak seorang kawan--sebut saja Demun--untuk mendatangi kantor pemasaran sebuah pengembang (developer) yang menjalankan usaha perumahan bersubsidi. Tujuan saya ke sana adalah komplain mengenai sebuah rumah baru yang dibeli oleh seorang kawan lain--sebut saja Lia.
Lia berasal dari luar daerah, bahkan jauh sekali domisilinya. Besok Lia sudah kembali ke daerahnya. Sementara rumah bertipe 36 yang baru dibelinya akan dikelola oleh kawan saya, Sarwan. Sarwan yang akan tinggal di situ untuk mengurusi hal-hal yang terkait dengan pekerjaan Lia di daerah ini.
Kebetulan Sarwan belum datang karena sedang menjalankan tugas di luar daerah. Kunci rumah diserahkan Lia kepada Demun supaya Demun bisa sewaktu-waktu memantau langsung rumah itu sebelum Sarwan datang, dan menempatinya. Tidak mungkin kunci diserahkan pada saya karena saya memiliki pekerjaan atau tanggung jawab yang sedang saya kerjakan.
Lusanya saya dan Demun berangkat ke rumah baru yang sangat sederhana dengan bantuan (subsidi) dana dari pemerintah itu. Tentu saja saya membawa alat kerja seperti biasa, meskipun sejak bertemu dengan Lia saya tidak dibekali lembaran berupa gambar bangunan, spesifikasi bahan (material), hal-hal terkait perjanjian pembelian, dan sejenisnya.
Teman-teman,
Inilah sebagian hal yang saya temukan di rumah itu, berawal dari luar (terlihat dan terekam) :Â
Pertama, halaman depan dan samping rumah yang berada pada posisi pinggir dua jalan kompleks (hook). Kondisi permukaan tanahnya ialah berbatu, dan rupa garis permukaan (kontur) dengan kemiringan sekitar 8-10 derajat pada samping bangunan yang menyisakan lahan selebar 1 meter.