Saya kurang mengetahui, kapan tanggal-tahun tepatnya kemunculan istilah “Self-Publishing” (Penerbitan Sendiri) yang ditandai dengan kesemarakan produksi buku yang dipromosikan melalui media internet (online). Ada yang menggunakan nama penerbitan sendiri, dan ada pula yang menggunakan jasa penerbit online.
Yang saya pernah tahu, ada beberapa buku yang diterbitkan sendiri oleh sebuah penerbitan bikinan sendiri, dan keseluruhannya dibiayai sendiri. Apakah semua itu termasuk sebuah selfie mutlak, selain mencakup istilah “sastra selfie” yang dicetuskan oleh Sastrawan Triyanto Triwikromo dalam diskusi 'Senjakala Ruang Sastra di Media Massa' di Gedung Olveh, Kota Tua, Jakarta, pada Kamis, 28 April 2016?
Barangkali tulisan saya ini pun berkategori “tulisan selfie”? Ah, bukankah dunia media sosial senantiasa memberi kesempatan kepada para penggunanya untuk ber-selfie ria, sekalipun sekadar secuil status atau selembar gambar (foto)?
Pro-Kontra Penerbitan Alternatif
Berdasarkan pengetahuan minimalis saya, perihal penerbitan buku bermunculan di Yogyakarta pada pengujung tahun 1990-an (sekian tahun menjelang tahun 2000). Sebelumnya, dunia penerbitan buku masih dimonopoli oleh para penerbit terkemuka-terkenal (mainstream). Ketika itu seorang penulis akan mengalami euforia megalomania ketika tulisan-tulisannya dibukukan-diterbitkan oleh penerbit terkemuka berafiliasi dalam IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) karena dengan begitu ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengolah redaksional calon bukunya, mencetak, dan memasarkannya. Apalagi mendapat biaya untuk acara peluncuran buku, dan, tentunya royalti.
Kemunculan penerbit buku alternatif dibarengi produk-produknya, termasuk karya para penulis luar negeri yang sekian tahun di-‘blacklist’ dalam rezim otoriter, disambut dengan pro-kontra. Pada waktu itu saya, yang kurang getol menyuntuki buku bermutu, khususnya bernuansa sosial-politik, tentu saja tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi.
Sebagian yang saya ketahui adalah pro-kontra itu. Bagi yang kontra, responnya adalah : terjemahannya tidak berkualitas; tulisan-tulisan tidak berkualitas dibukukan; penerbit tidak jelas; asal ada uang buku pun jadi; dan sekitarnya. Bagi yang pro, kesemarakan penerbitan buku semacam itu merupakan alternatif positif bagi para pemikir, yang selama sekian tahun disuguhi oleh buku-buku kurang memberi nuansa berbeda.
Hal itu tadi yang saya katakan bahwasannya saya tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam pro-kontra atas penerbitan buku yang dilakukan oleh para penerbit, baik rezim penerbit mainstream maupun penerbit alternatif, dan baik penulis yang pro rezim penerbit mainstream seakan sebuah lembaga kanonik buku maupun penulis yang independen murni.
Sungguh, saya benar-benar kurang memahami mengenai kemurnian sikap pro-kontra mereka, termasuk buku-buku terbitan Yayasan Multimedia Sastra pada 2002, yang mendapat respon kontra dari seorang presiden penyair Indonesia. Kalimat kontra yang melekat di benak saya ketika itu adalah, “Walaupun kotoran dibungkus kertas emas murni, isinya tetaplah kotoran.”
Tahun 2011 saya menerbitkan buku saya sendiri dengan nama Abadi Karya. Buku saya adalah kumpulan cerita pendek Di Bawah Bayang-bayang Bulan. Saya sendiri, dengan biaya sendiri, mengelolanya. Seorang kawan menyarankan saya melibatkan kawan-kawan untuk mengolahnya, meski saya ‘keberatan’ (dia bukan siapa-siapa dalam hal perbukuan, kok sok ngatur, sih?). Saya ‘terpaksa’ mengikuti sarannya karena saya ‘sedikit’ menghargainya. Lalu saya biayai sendiri segala urusannya, termasuk membayar biaya “kata pengantar”.