Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Self Publishing" dan Pro-kontranya

12 Mei 2016   13:11 Diperbarui: 12 Mei 2016   17:58 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kurang mengetahui, kapan tanggal-tahun tepatnya kemunculan istilah “Self-Publishing” (Penerbitan Sendiri) yang ditandai dengan kesemarakan produksi buku yang dipromosikan melalui media internet (online). Ada yang menggunakan nama penerbitan sendiri, dan ada pula yang menggunakan jasa penerbit online.

Yang saya pernah tahu, ada beberapa buku yang diterbitkan sendiri oleh sebuah penerbitan bikinan sendiri, dan keseluruhannya dibiayai sendiri. Apakah semua itu termasuk sebuah selfie mutlak, selain mencakup istilah “sastra selfie” yang dicetuskan oleh Sastrawan Triyanto Triwikromo dalam diskusi 'Senjakala Ruang Sastra di Media Massa' di Gedung Olveh, Kota Tua, Jakarta, pada Kamis, 28 April 2016?

Barangkali tulisan saya ini pun berkategori “tulisan selfie”? Ah, bukankah dunia media sosial senantiasa memberi kesempatan kepada para penggunanya untuk ber-selfie ria, sekalipun sekadar secuil status atau selembar gambar (foto)?

Pro-Kontra Penerbitan Alternatif

Berdasarkan pengetahuan minimalis saya, perihal penerbitan buku bermunculan di Yogyakarta pada pengujung tahun 1990-an (sekian tahun menjelang tahun 2000). Sebelumnya, dunia penerbitan buku masih dimonopoli oleh para penerbit terkemuka-terkenal (mainstream). Ketika itu seorang penulis akan mengalami euforia megalomania ketika tulisan-tulisannya dibukukan-diterbitkan oleh penerbit terkemuka berafiliasi dalam IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) karena dengan begitu ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengolah redaksional calon bukunya, mencetak, dan memasarkannya. Apalagi mendapat biaya untuk acara peluncuran buku, dan, tentunya royalti.

Kemunculan penerbit buku alternatif dibarengi produk-produknya, termasuk karya para penulis luar negeri yang sekian tahun di-‘blacklist’ dalam rezim otoriter, disambut dengan pro-kontra. Pada waktu itu saya, yang kurang getol menyuntuki buku bermutu, khususnya bernuansa sosial-politik, tentu saja tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi.

Sebagian yang saya ketahui adalah pro-kontra itu. Bagi yang kontra, responnya adalah : terjemahannya tidak berkualitas; tulisan-tulisan tidak berkualitas dibukukan; penerbit tidak jelas; asal ada uang buku pun jadi; dan sekitarnya. Bagi yang pro, kesemarakan penerbitan buku semacam itu merupakan alternatif positif bagi para pemikir, yang selama sekian tahun disuguhi oleh buku-buku kurang memberi nuansa berbeda.

Hal itu tadi yang saya katakan bahwasannya saya tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam pro-kontra atas penerbitan buku yang dilakukan oleh para penerbit, baik rezim penerbit mainstream maupun penerbit alternatif, dan baik penulis yang pro rezim penerbit mainstream seakan sebuah lembaga kanonik buku maupun penulis yang independen murni.

Sungguh, saya benar-benar kurang memahami mengenai kemurnian sikap pro-kontra mereka, termasuk buku-buku terbitan Yayasan Multimedia Sastra pada 2002, yang mendapat respon kontra dari seorang presiden penyair Indonesia. Kalimat kontra yang melekat di benak saya ketika itu adalah, “Walaupun kotoran dibungkus kertas emas murni, isinya tetaplah kotoran.”

buku-buku-selfie-57341e3c26b0bd5607b22ab6.jpg
buku-buku-selfie-57341e3c26b0bd5607b22ab6.jpg
Penerbit Sendiri

Tahun 2011 saya menerbitkan buku saya sendiri dengan nama Abadi Karya. Buku saya adalah kumpulan cerita pendek Di Bawah Bayang-bayang Bulan. Saya sendiri, dengan biaya sendiri, mengelolanya. Seorang kawan menyarankan saya melibatkan kawan-kawan untuk mengolahnya, meski saya ‘keberatan’ (dia bukan siapa-siapa dalam hal perbukuan, kok sok ngatur, sih?). Saya ‘terpaksa’ mengikuti sarannya karena saya ‘sedikit’ menghargainya. Lalu saya biayai sendiri segala urusannya, termasuk membayar biaya “kata pengantar”.

Tujuan saya menerbitkan buku saya sendiri adalah murni untuk “mengabadikan” tulisan saya, bukannya diam-diam menambah profesi sebagai produsen buku apalagi pebisnis penerbitan buku. Dengan dana terbatas, saya upayakan tulisan-tulisan saya terabadikan dalam sebuah buku karya tunggal.

Buku, bagi saya, adalah pengabadian tulisan, yang mirip dengan “rumah terbangun adalah pengabadian atas ide dan disain bangunan”. Kepuasan seorang arsitek semacam saya ini bukanlah ketika sebuah disain bangunan sudah jadi (rampung dibuat dalam gambar sekaligus animasinya), mendapat puja-puji, tetapi hanya sebatas berada di atas kertas atau layar komputer.

Penerbit Abadi Karya yang saya dirikan pun bukanlah untuk menerbitkan karya-karya orang lain. Jujur saja, saya tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengurusi karya-karya orang lain. Pernah ada seorang kawan menanyakan, apakah saya bersedia menerbitkan bukunya. Ya, saya jawab saja, saya tidak akan menerbitkan buku siapa-siapa selain buku saya sendiri.

Saya tidak mau merepotkan diri dengan buku-buku orang lain pada saat saya sendiri kerepotan memikirkan tulisan-tulisan dan buku karya tunggal saya, dan saya harus fokus sebagai seorang arsitek–bukan pebisnis penerbitan buku. Tidak jarang, saya menyarankan kawan-kawan menyerahkan soal penerbitan buku ke penerbit-penerbit yang sudah ada.

Sementara buku Di Bawah Bayang-bayang Bulan cenderung saya bagi-bagikan secara gratis. Meskipun saya harus mengeluarkan uang sekian juta, dan saya bukanlah seorang jutawan-milyader, pembagian buku secara gratis merupakan kesadaran saya.

Saya sadar, buku saya tergolong sangat kurang bermutu. Apakah dengan menyebut “sangat kurang bermutu” saya malah merendahkan kegigihan saya sendiri dalam proses kepenulisan?

Ah, sudahlah. Saya tidak suka merepotkan diri berpikir soal kegigihan atau apalah itu. Saya sudah kerepotan menuliskan isi kepala, masih juga harus direpotkan dengan memikirkan kelanjutannya. Padahal, kerepotan utama saya adalah menggambarkan isi kepala alias merancang bangunan!

Penerbit Online dengan Self-Publishing-nya

Pada 4 Februari 2016 saya mendapat sebuah ‘tawaran’ dari sebuah penerbit buku online. “Selamat pagi, salam kenal, melihat tulisan-tulisan Anda di *****sangat menarik dan inspiratif, kami dari ****** ingin menawarkan Anda untuk menerbitkan buku di ******. Jika anda memiliki naskah yang siap terbit seperti novel, kumpulan cerpen, atau buku tips-tips, bisa upload naskah Anda di ******.com dan akan kami terbitkan. Kami tidak pernah menolak naskah, selagi naskah tersebut tidak mengandung SARA, Pornografi, dan bukan hasil menjiplak karya orang lain, karena kami percaya penulis di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, dan kami ingin menjadi media yang menjembatani mereka dalam berkarya, termasuk Anda,” tawar penerbit itu.

Saya tidak perlu repot memikirkan hal-hal yang hanya berpotensi merepotkan saya. Segera saya buka situs penerbit online itu. Pertama, saya hendak melihat buku-buku produksi mereka. Kedua, aturan-aturan, kesepakatan, dan seluk-beluk penerbitan mareka. Ketiga, cara melakukan persiapan naskah untuk bisa dikirimkan. Ketiga hal ini harus benar-benar saya pahami.

Tidak hanya penerbitan mereka. Saya pun membuka situs penerbitan online lainnya. Ternyata tidak terlalu jauh perbedaannya. Keduanya pun memiliki panduan tata artistik dan dimensi sampul buku. Dalam hati saya katakan, “Siap!”

Ya, saya siap menanggapi ‘tawaran’ sekaligus tantangan mereka. Saya siapkan naskah kumpulan cerpen yang telah sekian lama tersimpan dalam komputer jinjing saya. Kemudian saya unduh format tata artistik, termasuk pedoman sampul buku, yang telah mereka siapkan. Tentu saja, saya pun harus merancang sendiri sampul buku saya.

Tawaran Sekaligus Tantangan

Baru kali ini saya mendapat ‘tawaran’ langsung dari sebuah penerbit. Penerbit tersebut pun dengan ‘berani’ mengatakan bahwa “tulisan-tulisan Anda sangat menarik dan inspiratif”. Bagi saya, hal ini merupakan ‘sejarah’ tersendiri.

Sebelumnya saya yang harus berkelana ke sana-sini dengan ‘menjajakan’ naskah-naskah saya. Tidak satu penerbit pun sudi menerima tawaran saya.

Apakah saya harus berpikir negatif terhadap apa-siapa? Pertama, terhadap diri sendiri; tulisan-tulisan saya kurang bermutu. Kedua, terhadap orang atau penerbit itu, bahwa mereka terlalu angkuh, dan tidak menghargai hasil pemikiran saya.

Tetapi, bukankah berpikir negatif sangatlah tidak baik bagi diri sendiri maupun secara kolektif?

Ya, mending berpikir positif meskipun tidak harus terlebih dulu ke bidan atau dokter spesialis kandungan. Cukup dengan menanggapi ‘tawaran’ dengan mengatakan “siap” atau “ya” setelah berusaha merenung untuk menyadari siapa diri saya.

Merenung? Ya, merenung untuk menyadari diri sendiri. Pertama, saya bukanlah penulis atau sastrawan. Kedua, tulisan-tulisan saya bukanlah tulisan-tulisan yang bermutu bagi sebagian besar orang dan penerbit terkemuka. Ketiga, saya tidak memiliki uang untuk mencetak-menerbitkan-mempromosikannya sendiri seperti ketika menerbitkan buku kumcer dengan Penerbit Abadi Karya.

Setelah merenungi sekaligus mengakui ketiga keterbatasan itu, tawaran dari sebuah penerbit merupakan suatu tantangan untuk keluar dari sikap mengasihani diri sendiri. Selanjutkan menyiapkan naskah sebagai bukti “siap” atau “ya” tadi. Beres!

Beres? O, belum. Selanjutnya, tentu saja, semacam sebuah tantangan. Tantangan untuk mensiasati karya dengan ketekunan dan pengelolaan waktu sebaik-baiknya antara persiapan naskah, penataan, pemeriksaan aksara, dan pembuatan sampul buku. Sebab, satu kenyataan paling jelas, saya pun harus bekerja sebagai seorang arsitek, bukannya penulis sekaligus redaktur sebuah penerbitan.

Sebuah ‘tantangan’ yang serius bagi saya, yang tidak terlalu memiliki kemampuan mumpuni dalam hal tata bahasa, pemeriksaan aksara, Ejaan yang Disempurnakan, dan perwajahan buku. Saya sendiri yang harus memikirkan pengolahan dan pengelolaan semua itu untuk calon buku saya sendiri. Penerbit online hanya menyediakan format tata artistik dan sampul buku, lalu mencetak-menerbitkannya.

Berbagi Untung atau Royalti

Kawan-kawan ‘terdekat’ saya sempat menanyakan perihal pembagian keuntungan finansial (royalti). Berapa persenkah royalti saya, dan sekitarnya. Bagi saya, pertanyaan semacam itu sangatlah kurang tepat.

Kurang tepat? Ya. Pertama, kawan-kawan saya tidak pernah satu kali pun berhubungan dengan tulis-menulis. Kedua, apalagi berhubungan dengan penerbitan buku. Ketiga, dalam isi kepala mereka hanya ada untung serta untung, tanpa pernah siap untuk rugi.

Kawan-kawan, tentu saja, mengenal saya sebagai seorang yang bukan penuntut keuntungan finansial melulu. Justru sebaliknya, saya selalu meraih sial dalam finance bersama orang lain, dan apa lagikah yang perlu repot-repot saya pikirkan. Kalaupun sial lagi bahkan sial melulu, toh bukanlah sebuah musibah baru dan memilukan. Terserahlah soal sial dalam finansial semacam itu, pikir saya.

Mengenai dunia penerbitan buku, penerbit (pebisnis penerbitan buku) manakah yang mau mencari kerugian; dan kerugian yang dialami oleh seorang penulis yang tulisannya dibukukan, apakah lantas membuatnya ‘gantung kata’ selamanya?

Dan, selama sekian tahun tidak sedikit penulis memberi keuntungan finansial kepada penerbit-penerbit mainstream melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan itu, tidak bolehkah jika seorang ‘bukan penulis’ semacam saya ini memberi keuntungan pada penerbit online? Bukankah para penerbit terkemuka itu terlampau banyak keuntungannya? Bagaimana kalau saling membagi keuntungan, sepakat, tidak?

Terlepas dari untung-menguntung di atas, kepada kawan-kawan saya sampaikan bahwa, selama sekian puluh tahun saya hidup dan amati kehidupan sekitar saya, tidak sedikit orang atau sebuah usaha apa pun berupaya keras mencari keuntungan meskipun usaha pencarian itu berpotensi merugikan orang lainnya. Mengupayakan keuntungan bagi diri sendiri dengan cara merugikan orang lain, sejatinya, merupakan upaya merugikan diri sendiri.

Berkaitan dengan kawan-kawan, selama ini pun kawan-kawan sama sekali tidak pernah benar-benar mampu menguntungkan saya secara finansial apalagi secara rutin. Jadi, menurut irit saya, tidak perlulah repot memikirkan apalagi secara negatif, terhadap kerugian-keuntungan apa pun atas hidup orang lain pada saat diri mereka sendiri belum juga mampu meraih keuntungan bagi diri sendiri apalagi menguntungkan bagi saya secara rutin. Biarkan nasib dan takdir melaksanakan kehendaknya masing-masing.

Eksperimentasi Ber-Self-Publishing bersama Penerbit Online

Maret 2016 adalah waktu mewujudkan eksperimentasi saya. Dua buku kumpulan cerpen pun terbit melalui dua penerbit online yang berbeda. Aku Ingin Menjadi Malam (sudah promo online), dan Rambo(dalam antrean promo online). Kedua buku tersebut sama sekali tidak perlu merepotkan kawan-kawan saya, dalam hal penulisan “kata pengantar”.

Apa? Kata pengantar? Dalam buku Antologi Puisi-Cerpen-Esai : Sastra Pembebasan (Jakarta, Yayasan Damar Warga, 2004, hal.98) Saut Situmorang menulis, bahwa penerbitan sebuah buku kumpulan puisi atau cerpen, baik antologi-bersama maupun antologi-tunggal, akan terasa kurang gagah kalau tidak dihiasi ‘Kata Pengantar’ atau ‘Kata Penutup’.

Selain itu, selentingan orang berpendapat bahwa “Kata Pengantar” maupun “Kata Penutup” dari seorang sastrawan sering kali berkecenderungan “mendikte” bahkan “merampas” hak Sidang Pembaca yang sesungguhnya. Juga menurut mereka, sebuah karya, termasuk tulisan, tidaklah perlu “diantar” seperti seseorang, semisal supir pribadi, yang dipercaya oleh orangtua untuk mengantar dan mendampingi anaknya.

Sepakat atau tidak, salah satu sisi Penulis (Pengarang) selalu berharap bahwa karyanya sudah mampu menjadi dirinya sendiri tanpa repot harus diantar dan didampingi siapa pun. Berhasil-tidaknya suatu karya menjadi sesuatu yang “hidup” sebagai dirinya sendiri di hadapan Sidang Pembaca, tentu saja, merupakan sebuah konsekuensi logis.

Memang, jujur saja, untuk buku kumcer lainnya, saya sempat meminta “kata pengantar” dari seorang kawan. Tapi puji Tuhan, kawan tersebut tidak juga memberi jawaban sehingga saya putuskan untuk tidak menggunakan “kata pengantar” dari siapa pun.

Sementara, satu calon buku kumpulan puisi cinta basi saya, Cinta Usang, menggunakan “kata pengantar” dari Muhammad Rois Rinaldi karena saya pun bereksperimen untuk menggunakan “kata pengantar” sebagai suatu penghargaan khusus untuk Penyair Cilegon Banten tersebut terkenal sebagai Penyair Internet se-Asia Tenggara. Itu pun nyaris batal karena naskah kumpulan puisi saya telanjur sampai ke meja redaksi penerbit online.

Sastra Selfie dan Buku Selfie

Dalam ingatan minimalis saya, istilah “selfie” merebak dalam lima tahun terakhir, sejak orang-orang suka berfoto diri melalui ponsel cerdas (smartphone) dan memajangnya di media sosial. Entah apa pun gaya dan mimik muka mereka, foto-foto diri itu seketika menyemarakan wajah media sosial.

Kemudian muncul istilah “sastra selfie”, yang dicetuskan oleh Sastrawan Triyanto Triwikromo, yang buku-buku tunggalnya telah diterbitkan oleh penerbit mainstream. “Sastra Indonesia sekarang menjadi Sastra Selfie. Sastra kita hari ini seperti itu. Sastra selfie itu sastra yang pengarangnya memuji diri sendiri. Sastra selfie juga bisa disebut sebagai sastra narsistik karena pengarangnya jatuh cinta pada dirinya sendiri sehingga nyaris tidak membutuhkan kritik sebab ketiadaan kritik atas sastra. Kritik atas sastra baik puisi ataupun cerpen tidak pernah ada lagi di koran-koran yang menerbitkan karya sastra,” Ujarnya.

Nah, bagaimana dengan “buku selfie” alias buku yang dicetak atau diterbitkan sendiri melalui biaya sendiri dan promosi sendiri? Saya sudah melakukannya melalui buku kumcer Di Bawah Bayang-bayang Bulan, meskipun menyertakan “kata pengantar”, “kata penutup”, dan sederet komentar (endorsment) kawan-kawan. Apa lagi yang perlu saya pungkiri?

Ya, saya tidak khawatir pada stempelisasi “selfie” pada karya-karya dan buku-buku saya melalui self-publishing. Dan saya pun tidak perlu repot berpikir negatif lagi, bahwasannya karya dan buku saya yang serba selfie itu berpotensi merugikan siapa pun bahkan merugikan sejarah perbukuan bangsa-negara Indonesia.

Justru, soal kerugian, sebaliknya saya yang mengalaminya. Sekian juta rupiah hanya menghasilkan sedikit ratusan ribu rupiah. Tidak pernah memenangkan lomba buku ini-itu, malah hanya menjadi rumah kutu-kutu. Masihkah akan dinyinyiri dengan istilah “buku selfie” oleh kalangan pengamat buku yang buku-bukunya telah diterbitkan oleh penerbit mainstream dengan biaya orang lain itu?

Bagi saya, ‘tawaran’ dari sebuah penerbit dengan segala dana-promosi dari penerbit itu sendiri, tidaklah lantas sebuah buku ‘self-publishing’ menjadi sebuah buku selfie. Mendapat sebuah ‘tawaran’ bisa juga merupakan sebuah apresiasi pihak di luar diri sendiri.

Berikutnya, keberanian (kenekatan?) saya menerima ‘tawaran’ sekaligus menghadapi ‘tantangan’ penerbit online. Selanjutnya, bagaimana penerbit online itu menanggapi ‘keberanian’ saya melalui penerbitan buku ‘selfie’ saya. Kalaupun akhirnya kelak sebagian pihak menuding saya telah merugikan kasanah perbukuan nasional, semoga hal itu tidaklah merugikan apalagi sampai membangkrutkan finansial dan reputasi mereka secara signifikan.

Oleh karenanya, melalui penerbitan sendiri (self-publishing) bersama penerbit online (yang membiayai pencetakan serta promosinya), dan pembiaran terhadap bersliwernya segala pikiran negatif siapa pun (mengapa hidup hanya dipenuhi pikiran negatif atasnama kritis?), saya mengirimkan naskah sekaligus rancangan sampulnya ke penerbit online, lantas menjadi sebuah buku yang mereka cetak-terbit-promosikan. Semoga saya selalu mampu memberi keuntungan bagi orang lain.

*******

Panggung Renung, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun