Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Self Publishing" dan Pro-kontranya

12 Mei 2016   13:11 Diperbarui: 12 Mei 2016   17:58 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, selentingan orang berpendapat bahwa “Kata Pengantar” maupun “Kata Penutup” dari seorang sastrawan sering kali berkecenderungan “mendikte” bahkan “merampas” hak Sidang Pembaca yang sesungguhnya. Juga menurut mereka, sebuah karya, termasuk tulisan, tidaklah perlu “diantar” seperti seseorang, semisal supir pribadi, yang dipercaya oleh orangtua untuk mengantar dan mendampingi anaknya.

Sepakat atau tidak, salah satu sisi Penulis (Pengarang) selalu berharap bahwa karyanya sudah mampu menjadi dirinya sendiri tanpa repot harus diantar dan didampingi siapa pun. Berhasil-tidaknya suatu karya menjadi sesuatu yang “hidup” sebagai dirinya sendiri di hadapan Sidang Pembaca, tentu saja, merupakan sebuah konsekuensi logis.

Memang, jujur saja, untuk buku kumcer lainnya, saya sempat meminta “kata pengantar” dari seorang kawan. Tapi puji Tuhan, kawan tersebut tidak juga memberi jawaban sehingga saya putuskan untuk tidak menggunakan “kata pengantar” dari siapa pun.

Sementara, satu calon buku kumpulan puisi cinta basi saya, Cinta Usang, menggunakan “kata pengantar” dari Muhammad Rois Rinaldi karena saya pun bereksperimen untuk menggunakan “kata pengantar” sebagai suatu penghargaan khusus untuk Penyair Cilegon Banten tersebut terkenal sebagai Penyair Internet se-Asia Tenggara. Itu pun nyaris batal karena naskah kumpulan puisi saya telanjur sampai ke meja redaksi penerbit online.

Sastra Selfie dan Buku Selfie

Dalam ingatan minimalis saya, istilah “selfie” merebak dalam lima tahun terakhir, sejak orang-orang suka berfoto diri melalui ponsel cerdas (smartphone) dan memajangnya di media sosial. Entah apa pun gaya dan mimik muka mereka, foto-foto diri itu seketika menyemarakan wajah media sosial.

Kemudian muncul istilah “sastra selfie”, yang dicetuskan oleh Sastrawan Triyanto Triwikromo, yang buku-buku tunggalnya telah diterbitkan oleh penerbit mainstream. “Sastra Indonesia sekarang menjadi Sastra Selfie. Sastra kita hari ini seperti itu. Sastra selfie itu sastra yang pengarangnya memuji diri sendiri. Sastra selfie juga bisa disebut sebagai sastra narsistik karena pengarangnya jatuh cinta pada dirinya sendiri sehingga nyaris tidak membutuhkan kritik sebab ketiadaan kritik atas sastra. Kritik atas sastra baik puisi ataupun cerpen tidak pernah ada lagi di koran-koran yang menerbitkan karya sastra,” Ujarnya.

Nah, bagaimana dengan “buku selfie” alias buku yang dicetak atau diterbitkan sendiri melalui biaya sendiri dan promosi sendiri? Saya sudah melakukannya melalui buku kumcer Di Bawah Bayang-bayang Bulan, meskipun menyertakan “kata pengantar”, “kata penutup”, dan sederet komentar (endorsment) kawan-kawan. Apa lagi yang perlu saya pungkiri?

Ya, saya tidak khawatir pada stempelisasi “selfie” pada karya-karya dan buku-buku saya melalui self-publishing. Dan saya pun tidak perlu repot berpikir negatif lagi, bahwasannya karya dan buku saya yang serba selfie itu berpotensi merugikan siapa pun bahkan merugikan sejarah perbukuan bangsa-negara Indonesia.

Justru, soal kerugian, sebaliknya saya yang mengalaminya. Sekian juta rupiah hanya menghasilkan sedikit ratusan ribu rupiah. Tidak pernah memenangkan lomba buku ini-itu, malah hanya menjadi rumah kutu-kutu. Masihkah akan dinyinyiri dengan istilah “buku selfie” oleh kalangan pengamat buku yang buku-bukunya telah diterbitkan oleh penerbit mainstream dengan biaya orang lain itu?

Bagi saya, ‘tawaran’ dari sebuah penerbit dengan segala dana-promosi dari penerbit itu sendiri, tidaklah lantas sebuah buku ‘self-publishing’ menjadi sebuah buku selfie. Mendapat sebuah ‘tawaran’ bisa juga merupakan sebuah apresiasi pihak di luar diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun