Berbagi Untung atau Royalti
Kawan-kawan ‘terdekat’ saya sempat menanyakan perihal pembagian keuntungan finansial (royalti). Berapa persenkah royalti saya, dan sekitarnya. Bagi saya, pertanyaan semacam itu sangatlah kurang tepat.
Kurang tepat? Ya. Pertama, kawan-kawan saya tidak pernah satu kali pun berhubungan dengan tulis-menulis. Kedua, apalagi berhubungan dengan penerbitan buku. Ketiga, dalam isi kepala mereka hanya ada untung serta untung, tanpa pernah siap untuk rugi.
Kawan-kawan, tentu saja, mengenal saya sebagai seorang yang bukan penuntut keuntungan finansial melulu. Justru sebaliknya, saya selalu meraih sial dalam finance bersama orang lain, dan apa lagikah yang perlu repot-repot saya pikirkan. Kalaupun sial lagi bahkan sial melulu, toh bukanlah sebuah musibah baru dan memilukan. Terserahlah soal sial dalam finansial semacam itu, pikir saya.
Mengenai dunia penerbitan buku, penerbit (pebisnis penerbitan buku) manakah yang mau mencari kerugian; dan kerugian yang dialami oleh seorang penulis yang tulisannya dibukukan, apakah lantas membuatnya ‘gantung kata’ selamanya?
Dan, selama sekian tahun tidak sedikit penulis memberi keuntungan finansial kepada penerbit-penerbit mainstream melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan itu, tidak bolehkah jika seorang ‘bukan penulis’ semacam saya ini memberi keuntungan pada penerbit online? Bukankah para penerbit terkemuka itu terlampau banyak keuntungannya? Bagaimana kalau saling membagi keuntungan, sepakat, tidak?
Terlepas dari untung-menguntung di atas, kepada kawan-kawan saya sampaikan bahwa, selama sekian puluh tahun saya hidup dan amati kehidupan sekitar saya, tidak sedikit orang atau sebuah usaha apa pun berupaya keras mencari keuntungan meskipun usaha pencarian itu berpotensi merugikan orang lainnya. Mengupayakan keuntungan bagi diri sendiri dengan cara merugikan orang lain, sejatinya, merupakan upaya merugikan diri sendiri.
Berkaitan dengan kawan-kawan, selama ini pun kawan-kawan sama sekali tidak pernah benar-benar mampu menguntungkan saya secara finansial apalagi secara rutin. Jadi, menurut irit saya, tidak perlulah repot memikirkan apalagi secara negatif, terhadap kerugian-keuntungan apa pun atas hidup orang lain pada saat diri mereka sendiri belum juga mampu meraih keuntungan bagi diri sendiri apalagi menguntungkan bagi saya secara rutin. Biarkan nasib dan takdir melaksanakan kehendaknya masing-masing.
Eksperimentasi Ber-Self-Publishing bersama Penerbit Online
Maret 2016 adalah waktu mewujudkan eksperimentasi saya. Dua buku kumpulan cerpen pun terbit melalui dua penerbit online yang berbeda. Aku Ingin Menjadi Malam (sudah promo online), dan Rambo(dalam antrean promo online). Kedua buku tersebut sama sekali tidak perlu merepotkan kawan-kawan saya, dalam hal penulisan “kata pengantar”.
Apa? Kata pengantar? Dalam buku Antologi Puisi-Cerpen-Esai : Sastra Pembebasan (Jakarta, Yayasan Damar Warga, 2004, hal.98) Saut Situmorang menulis, bahwa penerbitan sebuah buku kumpulan puisi atau cerpen, baik antologi-bersama maupun antologi-tunggal, akan terasa kurang gagah kalau tidak dihiasi ‘Kata Pengantar’ atau ‘Kata Penutup’.