Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Andai Aku Admin] Setiap Tahun Membukukan Kumpulan Tulisan di Kompasiana

30 Januari 2016   18:50 Diperbarui: 30 Januari 2016   19:10 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Era digital berlayar kaca memang sudah merambah hingga pelosok. Beberapa media kertas pun mengalami masa senjakala alias “gulung kertas”. Ada juga himbauan untuk melestarikan hutan demi bumi yang hijau.

Sementara buku konvensional masih berjaya dan tetap tekun berdaya-upaya sebagai media baca yang bergelar “jendela budaya”, meskipun sebagian orang telah beralih ke e-book alias “buku elektronik” karena memuja “dewa digital”. Tidak ketinggalan juga kemunculan bisnis penerbitan buku, bahkan penjualan buku secara online, semisal yang dilakukan oleh Irwan Bajang dan kawan-kawan dengan komunitasnya bernama Jualan Buku Sastra (JBS).

Membuat Buku Konvensional di Era Digital, Memangnya Kenapa?

Terserahlah ketika sebagian orang masa kini telah menggembar-gemborkan era digital dengan buku yang berteknologi mutakhir (e-book) lantas ‘menghakimi’ bahwa buku konvensional sudah kuna–tidak up to date alias ketinggalan zaman. Kenyataannya, sebagian pembaca, penulis atau kreator seni berbahan kertas masih menjadikan buku sebagai bahan bacaan (referensi-informasi budaya) yang tetap dicari. Kenapa, ya?

Sepakat atau tidak; diakui atau ditolak, buku atau media kertas memang memiliki keunggulan tersendiri. Mudah dibawa ke mana-mana jika hanya berjumlah tertentu. Tidak tergantung pada perangkat bantu lainnya, semisal listrik. Kemudahan semacam ini bisa memberi kesempatan membaca dengan durasi waktu lama untuk dibaca.

Waktu lama juga berkaitan dengan keawetan, kecuali ‘musuh bebuyutan’ berupa kutu buku, rayap, tikus, dan lain-lain. Buku konvensional bisa melampaui zaman (abadi), dan tidak terganggu oleh persoalan sinyal elektromaknetik.

Dengan keunggulan pertama ini, pembaca tidak perlu memerbarui teknologi karena buku tidak berubah dan tidak memerlukan perangkat teknologi yang selalu berubah. Hal ini pun bisa dibandingkan dengan kerentanan virus teknologi yang sering mengincar data (harrdisk, flashdisk, dll.) atau perubahan digital (masih ingat rumor perubahan angka digital tahun 2000-an atau Y2K?).

Keunggulan kedua, buku itu anti-gores dan anti-pecah. Permukaan keras-agak runcing di sekitar buku bukanlah ‘musuh diam-diam’. Apabila tiba-tiba jatuh (mungkin karena si pembacanya mengantuk), buku tidak mengalami goresan bahkan pecah yang fatal. Pembaca (pemilik buku)tidak perlu khawatir apabila tertindih, terinjak, terjatuh (terbanting), dan seterusnya.

Keunggulan ketiga, mata manusia sangat ‘bersahabat’ dengan buku konvensional (berbahan kertas). Buku tidak memncarkan radiasi cahaya yang bisa ‘melawan’ mata bahkan ‘merusak’ mata. Tentunya berbeda dengan layar kaca yang memang memancarkan enerji cahaya dari enerji listrik. Buku tidak menimbulkan ‘kelelahan’ mata, kecuali menjadi “obat tidur” alternatif.

Keunggulan keempat, buku konvensional belum menjadi obyek pencurian konvensional. Pada umumnya pencuri tidak menyukai buku karena buku tidak cepat dijual. Sebuah buku yang tergeletak akan dibiarkan oleh seorang pencuri. Tentu saja berbeda dengan laptop, tablet, smartphone, televisi, dan alat berteknologi mutakhir lainnya.

Barangkali masih ada keunggulan-keunggulan selanjutnya. Silakan saja Sidang Pembaca menambahkannya.

Kompasiana Tidak Mengalami Kesulitan dalam Perolehan Bahan

Dalam satu hari, lebih dari sepuluh tulisan yang tampil di layar Kompasiana.com, yang terbagi dalam pelbagai genre yang terhimpun dalam rubrikasinya. Ada tulisan yang aktual (sosial-politik-kesehatan, dll.), edukasional, khayal (fiksi), dan lain-lain.

Itu dalam satu hari. Kalau dalam kurun minggu, bulan, dan tahun, bagaimana?  

Artinya, Kompasiana tidak pernah mengalami kesulitan bahan (tulisan). Soal kualitas tulisan, tentunya tidak perlu diragukan, meskipun beberapa tulisan lainnya masih harus mengalami proses seleksi. Soal kualitas Kompasianer, tentu saja, berbeda-beda. Persoalan bukan pada kualitas Kompasianer (kontributor) apalagi jika ‘terpatok’ pada gelar akademisi, melainkan pada kualitas tulisan itu sendiri.

Gelar akademisi bukanlah standar satu-satunya (mutlak) untuk menilai suatu perhatian publik (Kompasinaer) melalui tulisan. Perbedaan itu justru memiliki nilai tersendiri, yang berpotensi memerkaya kasanah berpikir Pembaca. Tidak jarang tulisan (opini) seseorang bisa membuka cara berpikir yang lain, meskipun bukan pikiran negatif. Ada sudut pandang ‘lain’, yang masih layak diapresiasi.  Biasalah, berbeda-beda pemikiran tidak lantas menjadi ‘kekacauan’ iklim berpikir sehat di kalangan masyarakat Pembaca.

Di samping itu, sebagian Kompasianer (kontributor tulisan) bukanlah para penulis yang telah memiliki “nama” di media cetak umum. Tulisan-tulisan (opini) mereka pun layak mendapat apresiasi yang ‘terabadikan’ dalam sebuah buku konvensional.

Membukukan Kumpulan Tulisan dalam Satu Tahun sebagai Suatu Wujud Pertanggungjawaban Profesional-Intelektual

Setiap tahun sebagian orang atau sekelompok orang (komunitas, korporasi, dst.) selalu melakukan kilas balik, kontempelasi, refleksi, catatan, atau peninjauan ulang terhadap peristiwa, kejadian, pemikiran, dan lain-lain selama satu tahun. Ada pula yang melakukan semacam dokumentasi sebagai ungkapan (wujud) dari sebuah pertanggungjawaban kinerja intelektual tahunan.

Bagi penerbit sekaliber Grup Kompas, pembukuan bukanlah persoalan atau kesulitan baru. Salah satunya adalah buku “Kumpulan Cerpen Pilhan Kompas”. Setiap tahun Kompas telah melakukan pembukuan itu, dan selalu menjadi referensi penting bagi kalangan pembaca.

Demikian pula jika Kompasiana melakukan pembukuan terhadap tulisan para Kompasianer. Dengan bahan (tulisan) yang sudah terkoleksi dan terseleksi, tentu saja, sangat memudahkan untuk pembukuan.

Tidak ketinggalan pula adalah jumlah pembaca dan komentar para pembaca yang tersaji di bagian bawah tulisan. Jumlah pembaca dan komentar dapat menjadi bagian dalam ‘isi’ lembaran tulisan. Komentar-komentar pun bisa diseleksi sehingga layak tergabung dalam lembaran tulisan. Bisa saja diasumsikan sebagai ‘endorsement’.

Tetapi, komentar pun tidaklah hanya terpatok pada kualitas. Spontanitas Pembaca melalui kolom komentar bisa menjadi ‘ukuran’ tersendiri bagi tulisan seorang kontributor. Tidak jarang komentar yang terpajang memerlihatkan keluguan atau kelucuan yang menggemaskan.

Dengan adanya dokumentasi komentar terlihat pula iklim demokrasi pemikirannya. Bagi calon pembaca buku itu nantinya, bukan tidak mungkin, komentar apa pun merupakan ‘daya tarik’ tersendiri sebagai satu-kesatuan antara sebuah tulisan dan komentar pembaca, dan layak ‘dipertanggungjawabkan’ secara intelektual.

Selain sebagai wujud sebuah pertanggungjawaban tahunan, buku tersebut nantinya bisa menjadi semacam kado tahunan sebagai sebuah bentuk apresiasi (penghargaan) yang nyata kepada Kompasianer, baik penulis maupun komentator,  yang terpilih. Apalagi jika apresiasi itu bisa disampaikan secara tertulis seperti halnya para juri untuk buku kumpulan cerpen pilihan Kompas.   

Di samping itu, pembukuan berpotensi bagi kompasianer lainnya agar lebih bersemangat dan selektif terhadap pemikiran mereka sendiri. Maksudnya, para kompasianer tidak saja bersemangat untuk menuliskan pemikiran dalam wujud tulisan panjang-lebar tetapi juga melalui komentar pendek. Sangat menghibur bagi kompasianer lainnya jika hanya komentar pendek yang tergabung.

Dan, lebih ke depannya, pemikiran-pemikiran yang terbukukan berpotensi sebagai bagian dari bahan referensi bagi para pengelola daerah dan negara. Sumbangsih yang intelek semacam ini akan membantu dalam pemantauan (perhatian) masyarakat (kontrol sosial) dengan penuh kasih-sayang supaya para pengelola daerah dan negara lebih baik lagi dalam pembenahan, perumusan dan penerbitan kebijakan demi kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Kesimpulan

Nah, seandainya saya (aku) menjadi admin Kompasiana, tentu saja saya akan membukukan tulisan-tulisan di Kompasiana.com sebagai wujud sebuah kinerja yang intelektual-serius, dan layak pula diapresiasi pada tahap selanjutnya. Sayangnya, semua itu hanyalah “seandainya”. Namun, lumayanlah, khayalan saya bisa menghibur diri saya sendiri, seolah-olah saya memang seorang admin Kompasiana.

*******

Panggung Renung & Kebun Karya, 30 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun