Kamis malam Jumat dan dari pkl. 19.30 s.d. 21.00 WITA itu merupakan kali pertama saya diundang sekaligus hadir dalam acara Tahlilan. Datang, masuk ke teras depan berukuran berukuran 3m x 6m, menyalami seorang demi seorang undangan yang sudah terbih dulu hadir. Setelah itu barulah saya duduk bersila di atas karpet.
Para hadirinnya 99% Muslim, dan 97% Jawa. Mayoritas berbusana gamis, saya sendiri yang berkaus oblong. Ngobrol sebentar dengan bahasa Jawa. Pukul 19.45 WITA acara pun dimulai.
Mayoritas hadirin melafalkan doa, saya sendiri yang diam. Ada buku panduan tetapi bertuliskan aksara Arab. Saya tidak bisa membaca apalagi melafalkannya. Lha saya berdoa apa? Rahasia. Ini rahasia pribadi, bukan untuk konsumsi publik.
Sekitar 45 menit (pkl.19.45 s.d. 20.30 WITA) acara doanya. Selama 45 menit itu pula saya diam. Mujurnya ponsel saya tidak rewel.
Nah, ketika acara doa selesai dan memasuki acara makan bersama, tentu saja saya tidak mau sendiri (1%), baik sendirian makan sementara mayoritas hadirin tidak makan ataupun mayoritas hadirin makan sementara saya sendiri yang tidak makan. Juga ketika semua menerima satu plastik makanan untuk dibawa pulang (“berkat”, istilah Jawa-nya), saya pun menerimanya.
Ya, saya menghargai tuan rumah (tetangga), baik undangan maupun bingkisan untuk dibawa pulang. Saya memang selalu siap berada dalam suasana semacam itu karena sejak kecil beranjak remaja di kampung halaman (Sri Pemandang Atas), mayoritas tetangga saya adalah Muslim meskipun mereka tidak pernah mengundang saya dalam acara tahlilan. Kemudian pada 1990 Kakenda (Muslim) meninggal dunia, saya mudik ke dusun Kakenda, juga ada tahlilan, meskipun saya tidak berada di antara duduk bersila pada hadirin yang bertahlil.
Demikian saja catatan saya. Terima kasih.
*******
Kebun Karya, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H